Aku berharap semoga nasehat bijak ini bukan hanya bisa bermanfaat untukku dan mengetuk pintu hatiku, sampai ada setitik cahaya yang meneranginya. Hingga rasanya airmata ini ingin mengalir begitu saja. Namun, melainkan juga untuk orang lain. Terutama untukmu saudariku (muslimah). Ya Allah.. benarkah jalan ini yang harus aku tempuh? Meski diri ini begitu sadar, tidak mungkin bisa sama seperti Rabiatul Hadawiyah ra. Tidak mungkin bisa sama seperti Khadijah sang Ummul Mukminin. Mungkin ada benarnya yang dikatakan oleh beberapa orangtua termasuk kakak seniorku di kegiatan mentoring yang ada di kampus. Bahkan terutama juga pamanku sendiri. Ya, kata-kata yang pagi ini kembali kudengar dari tutur bijak seorang paman, mungkin ini yang dapat aku katakan saat ini. Meski di satu sisi ada perasaan tidak terima dengan ucapan yang seolah benar-benar merasuk pada hatiku. Namun, di sisi lain entah mengapa ada perasaan lega dan syukur dari lubuk hatiku sendiri. Aku bingung dengan apa yang saat ini tengah aku rasakan, aku bingung dengan semua pikiran yang kini seolah kian menyesak di dalam hati juga pikiranku. 

Inilah nasehat bijak yang kini tengah bergemuruh di dalam hati dan jiwaku. Pagi ini, entah untuk yang ke berapa kalinya aku mendengarnya kembali dari lisan dan uraian pamanku.  

Apa faedahnya dan untuk apa PACARAN?

Aku kembali mencoba mengingat sedikit demi sedikit ucapan pamanku yang baru berselang beberapa menit lalu sebelum aku menuliskannya melalui uraian kisah ini.

Semuanya memang akan berjalan indah pada awalnya. Indah, ya indah memang. Semua kata pujian mungkin bisa saja terlontar seperti tidak ingin ada satu kata pun dari kata pujian dan sanjungan yang tertinggal untuk mengutarakan pada si dia, tepatnya wanitanya. Itu biasa pada saat kita berpacaran, penuh romantika indah. Hanya kebaikan dan keindahan yang seolah ingin kita perlihatkan. Dan cela? Apakah kita ingin sedikit saja membuka cela keburukan kita di hadapannya? Tentu saja tidak. Mengapa? Takut kalau-kalau dia orang yang kita cintai dan sayangi saat ini meninggalkan kita? Seperti itu kah? Entahlah. Aku sendiri pun saat ini seolah kehilangan pikiran jernihku. "Di saat pacaran mungkin semua yang indah-indah yang akan kita persembahkan untuknya, lantas apa yang akan kamu persembahkan kelak untuk calon suamimu?" Kata-kata yang terkesan keras dari lisan pamanku.

"Setelah menikah mungkin hanya bisa terasa dan berjalan dengan indah selama 2 atau 3 bulan pernikahan itu. Setelah itu semua akan berjalan biasa-biasa saja, seolah tidak ada lagi yang indah-indah. Mengapa? Sewaktu pacaran aku telah merasakan dan mendapatkan semuanya. Senyumannya bahkan penampilannya dan mungkin juga masakannya. Apalagi kalau, maaf (kehormatan wanita tersebut)."

Aku berujar "Seperti itu kah laki-laki?"


Tidak juga. Tidak ada yang patut untuk disalahkan. Aku tidak menyalahkan ucapan pamanku. Aku akui seratus persen ucapannya benar. Tidak mungkin dia berkata begitu kalau bukan karena ada faedahnya. Dan faedahnya tentu saja untuk kebaikanku sendiri. Sampai saat ini terus saja kalimat itu yang terngiang dan melintas di dalam pikiranku. Aku juga kembali teringat kata-kata seorang wanita yang lebih tepatnya aku panggil dengan sebutan "Ummi" meski aku tidak terlahir langsung dari rahimnya.

"Nak, pernikahan yang dijalani karena ada unsur kesalahan di dalamnya atau telah berbuat dosa (Zina) terlebih dahulu sebelum menikah. Tahu kah dampak yang sangat mempengaruhi rumah tangganya kelak? Salah satunya, Allah akan mencabut kasih sayang yang pernah ada di antara mereka, jika mereka melakukan hal yang dibenci bahkan sangat dibenci oleh Allah, sebelum pernikahan itu menghalalkan dia untuk menyentuh kehormatan wanita tersebut."


Ini ucapan wanita tersebut yang kupanggil Ummi. Mendengar ucapannya aku hanya bisa terdiam. Aku takut. Di dalam hati aku berteriak, mencoba berdialog dengan hatiku sendiri. Bimbing aku ya Allah. Aku takut kalau aku juga ikut terjerumus dalam lembah yang Engkau benci itu. Semoga aku bisa menemukan jodohku yang tepat, seorang imam yang ikhlas menjadi imamku karenamu. Jauhkan aku dari perbuatan terkutuk itu. Jauhkan ya Allah...

Ummi juga sempat berkata, "Nak, coba kamu berpikir dan bayangkan. Apa benar adanya yang Ummi sampaikan ini? Bandingkan, mereka yang menikah atas dasar mempertahankan kesucian semata karena Allah, dengan mereka yang telah terkotori sebelum dihalalkan oleh tali pernikahan yang suci. Banyak di luar sana orang-orang yang menikah karena kesalahan atau telah berbuat zina terlebih dahulu. Menurut survei, angka perceraian dari pasangan seperti mereka lebih besar dibanding orang yang menikah di jalan Allah."

Aku kembali terdiam, tidak sedikitpun hatiku menyalahkan apa yang beliau ucapkan sejak awal. Allah, aku hanya bisa berdoa dan berprasangka baik. Akan ada banyak hikmah dan ibrah yang bisa aku dapatkan dari semua ini. Terima kasih Allah, untuk semua pelajaran yang berharga.

Semoga bermanfaat...

1 Komentar

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)