Aku telah belajar untuk berdamai dengan diri sendiri. Mendekap setiap apa yang terasa sakit, mengakui keberadaannya, untuk lebih bisa menerima, dan ikhlas setelahnya. Bahwa tak ada sesuatu hal yang terjadi tanpa izin Allah. Kalau kata suami, semua baik-baik saja kok. Tak seperti apa yang dibayangkan. Kadang memang kitanya saja yang terlalu overthinking menyikapi segala hal yang terjadi.

Dari pengalaman ini aku sadar, tak harus gila untuk mau datang ke profesional, dan aware sama kesehatan mental diri sendiri. Aslinya, banyak sih orang-orang yang punya masalah dengan dirinya, tetapi memilih untuk denial. Karena bagi sebagian orang, memendamnya akan jauh lebih mudah, ketimbang terbuka dan hanya beroleh penghakiman, bukan justru pertolongan.

Di titik ini, mengakui bahwa aku memiliki gangguan mood disorder, membuatku jauh lebih siap untuk berproses tanpa harus terbebani. Bisa fokus mempelajari terkait mental health awareness juga kiat-kiat pemulihan diri. Sudah mau mengakui saja, ini juga prestasi tersendiri sih buatku. Karena seperti yang kujelaskan sebelumnya, kebanyakan orang lebih memilih menutupnya rapat-rapat. Untukku pribadi, menuliskan sebagian pengalaman tak menyenangkan itu termasuk pada proses healing saat ini, adalah tahap menuju pulih dengan hati yang benar-benar ringan.

Aku teringat pada salah satu paragraf yang terdapat di novel The Orphan Keeper halaman 550, bahwasanya “Menceritakan pengalaman kita kepada orang lain, segala hal yang menyakitkan, menyenangkan, segala perjuangan, keinginan besar yang ada di hati kita.. memungkinkan kita melihat melampaui bayang-bayang gelap untuk menemukan secercah peluang.”

Dan ya, aku selalu menemukan epiphany setiap kali usai menuliskan satu pengalaman yang selama ini telah cukup lama kusimpan sendiri. 

Dari keinginan untuk pulih. Aku ingin menjadi manusia yang lebih baik lagi. Dimulai dengan aware sama kondisi diri, belajar memahami apa yang sebenarnya termanifestasi sekian lama hingga akhirnya aku sampai di fase ini, dan pelan-pelan mulai mencintai diri secara utuh terlepas dari ekspektasi apapun yang orang lain lekatkan padaku.

Orang lain mungkin tak akan paham sepenuhnya, sedikit orang yang akan benar-benar merangkul. Akan tetapi, aku sendiri yang harus berdiri, berjuang, dan berusaha di jalan ini. Menyembuhkan diri dan pulih dari rasa trauma, adalah tanggung jawabku di masa sekarang tanpa harus menyalahkan siapapun di masa lalu.

Sebenarnya aku tak benar-benar sendirian. Masyaa Allah alhamdulilah, karena ada suami dan anak-anak yang sedari awal selalu jadi support sistem di segala kondisi.

Paling tidak, aku juga sudah membuktikan, dan mematahkan stigma yang ada di masyarakat pada umumnya. Kalau bukan cuma orang yang tanda kutip "sakit jiwa banget" yang harus dibawa ke psikiatri untuk beroleh pengobatan.

Aslinya ketika kita ke psikolog, kita sedang mencari bantuan pada orang yang benar-benar paham dengan problem mental manusia. Sebab mereka memiliki kapabilitas dalam menganalisa bagaimana pikiran, perasaan, perilaku, hingga pada interaksi seorang individu.. sampai akhirnya bisa memberikan diagnosa terkait masalah yang ada di dalam diri seseorang. 

Karena memang tak bisa hanya dengan diduga-duga saja apakah orang itu begini atau begitu, apa dia sedang stress atau bahkan depresi, karena dua hal ini ternyata juga memiliki pengertian yang berbeda. Kita tak bisa melakukan self diagnose sendiri. Kita juga tak boleh menjadikan struggle orang lain akan kondisinya sebagai bahan olok-olokan. Yang terbaik, jika kita mau mencari tahu dan mulai bisa membantu. Minimal menjadi pendamping, atau berempati padanya, meski bukan kita yang mengalami langsung.

Baik itu ke psikiater atau psikolog klinis, kita dapat bicara face to face dengan profesional, berusaha untuk menemukan apa solusi yang tepat dalam mengatasi problem dalam diri terkait kesehatan mental yang dirasakan. Mungkin masih ada yang belum bisa membedakan psikiater dengan psikolog, aku bantu jelaskan di sini ya.

Jadi kalau psikiater, mereka melihat kondisi kejiwaan seseorang berdasarkan sudut pandang kedokteran. Kendati juga ada dari sisi psikologis pasiennya. Itu karena psikiater adalah dokter yang berfokus pada kesehatan jiwa. Hanya psikiater pula yang diperkenankan untuk memberi resep obat-obatan jiwa pada pasiennya. Selain itu, psikiatri sendiri adalah salah satu cabang dalam ilmu medis. 

Sedang psikologi adalah ilmu non-kedokteran kendati para psikolog juga sedikit mempelajari terkait biologis, tetapi lebih pada memberikan konseling, menggunakan alat ukur, bertujuan untuk menganalisa perasaan dan perilaku seseorang. Oleh karena itu psikolog tidak memiliki wewenang untuk meresepkan obat kepada konselinya. Biasanya jika pun memerlukan bantuan obat, psikolog akan langsung merujuk kliennya pada dokter psikiater.

Namun, baik psikolog maupun psikiater, keduanya sama-sama saling melengkapi. Objeknya sama, namun point of viewnya saja yang berbeda.

Jika psikolog fokus pada permasalahan psikologis. Sedang psikiater, menangani pasien dengan gangguan kejiwaan yang dibantu obat-obatan untuk dapat meredakan gejala yang datang. Biasanya jika kasus pada pasien sudah di tahap parah. Seperti ada kecenderungan untuk bunuh diri, gangguan skizofrenia, dan yang ditakutkan dia tak hanya dapat membahayakan dirinya sendiri melainkan pula orang lain.

Saat memutuskan ke profesional, aku terlebih dulu mendatangi psikolog klinis. Baru di pertemuan selanjutnya, atas saran dan rujukan dari psikologku waktu itu, aku langsung dirujuk untuk bertemu dengan dokter psikiatri di rumah sakit yang sama. Jadi selain diagnosa adanya gangguan bipolar disorder, aku juga sudah di tahap mengalami gangguan psikosomatik yang memerlukan bantuan obat-obatan pula.



Jadi sebenarnya, di tahun 2016 aku sempat memeriksakan diri ke rumah sakit. Tepatnya di spesialis penyakit dalam waktu itu. Sempat cek darah juga, kendati hasilnya menunjukkan tidak ada penyakit serius, bahkan bisa dikatakan normal. Hanya saja, nyaris setiap hari aku mengalami sakit kepala hingga bergantung pada obat pereda nyeri. Dalam sehari aku bisa mengkonsumsi obat sakit kepala sebanyak dua hingga tiga kali, karenanya yang terpikirkan waktu itu, kemungkinannya bukan pada kondisi mental yang ternyata bisa memengaruhi fungsi tubuh seseorang. Justru lebih ke pikiran yang tidak-tidak seperti adanya tumor di otak, atau barangkali kemungkinan lainnya.

Aku ingat persis, bagaimana beberapa tenaga medis yang saat itu bertugas menatapku dengan pandangan aneh. Ya barangkali karena aku sudah tampak seperti pesakitan, padahal jelas-jelas tak ada kelainan apapun pada hasil pemeriksaan 😂😂

Beberapa gejala psikosomatis memang masih berlangsung hingga saat ini. Akan tetapi setelah menjumpai profesional, menjalani terapi dan serangkaian metode relaksasi, gangguan yang dialami juga mulai berkurang. Biasanya setiap kali cemas, berada di bawah tekanan, terutama ketika beban pikiran memuncak, aku akan langsung mengalami gejala psikosomatis di waktu bersamaan. Dari jantung berdebar-debar, tubuh lemas, pundak kaku, insomnia akut, sampai pada sakit kepala yang cukup intens. Jika sakit kepala yang dirasa sudah memuncak, di level yang membuatku tak lagi sanggup menahannya, aku bisa sampai muntah-muntah.



Ternyata, setelah lebih aware dengan kondisi diri dan mendapatkan psikoterapi dari psikolog.. gejala psikosomatis pelan-pelan juga ikut menghilang. Dalam sebulan pun, bisa dihitung jari berapa obat sakit kepala yang kuminum. Sebelum itu, nyaris setiap hari ketergantungan dengan obat pereda nyeri.

Sedikit kujelaskan, secara etimologi psikosomatis terdiri dari dua kata yakni pikiran (psyche) dan tubuh (soma) dapat diartikan sebagai penyakit yang melibatkan antara pikiran dengan tubuh. Sedang menurut ilmu psikologi, psikosomatis adalah kondisi di mana seseorang merasakan sakit beserta adanya gangguan fungsi tubuh sebab dipengaruhi oleh kondisi mental. Hanya saja ketika dilakukan pemeriksaan fisik, dll, tidak terdeteksi adanya penyakit atau keanehan lain pada tubuh orang tersebut. Itu mengapa, kita sering mendengar saran "Jangan stress, karena dapat memicu penyakit.."

Ternyata ungkapan itu benar adanya. Kondisi stress yang dialami oleh seseorang, jika berlangsung lama dan tak beroleh penanganan tepat, selain dapat menimbulkan gejala psikosomatis, pada beberapa kasus justru akan memperparah penyakit yang sudah ada sebelumnya. Pada masing-masing orang, gejala psikosomatis bisa saja berbeda. Ada yang sampai mengalami sesak napas. Ada yang mengeluh asam lambungnya meningkat, demam panas, sampai pada maag kronis.



Dulu, aku sama sekali tak berpikir bahwa mungkin saja saat itu kesehatan mentalku lah yang bermasalah. Depresi berlarut, tapi tak beroleh perhatian lebih. Padahal aku mengalami gejala depresi sudah sejak hamil hingga melahirkan anak pertama.

Tak ada kata terlambat, kan? Aku bersyukur saat ini bisa tergerak untuk berproses pulih, dan satu persatu jalan, satu persatu pintu, kebaikan demi kebaikan, seperti terbuka untukku. Mendatangiku dengan sendirinya, seiring ikhtiar yang dijalani. Aku mulai mempelajari banyak hal terkait: inner child healing, mental illness, mental health awareness, juga beberapa terapi pemulihan yang dilakukan untuk berproses pulih, demi kehidupan yang lebih baik pula.

Betapa penting sekali untuk peka, peduli, pada diri sendiri. Karena ketika kita semakin menyangkal, justru kita hanya akan terus menumpuk luka, berputar di situasi yang sama tanpa adanya penyelesaian. Semakin kita seperti hilang arah, dan bisa-bisa bertindak kompulsif tanpa disadari. 

Kita terlalu keras ke diri sendiri, demi terlihat normal di mata semua orang. Sekalipun jelas-jelas kita tak sedang baik-baik saja. Ini yang akhirnya dapat berimbas pada kondisi kesehatan mental jika berlangsung cukup lama, namun dibiarkan begitu saja.

Ibarat sebuah gelas yang terus menerus diisi air, tatkala penuh maka lama kelamaan ia akan luber, dan membludak. Begitu pula dengan kapasitas diri manusia, emosi negatif yang jika hanya dipendam bukan justru diselesaikan, makan akan menimbulkan permasalahan lain. Kecuali, jika kita sadar dan bisa mendistraksi itu pada hal-hal baik secara terus menerus.

Mungkin karena di budaya kita, menunjukkan kelemahan diri seringkali dianggap tabu kali ya. Persepsi yang hadir terhadap orang-orang yang mengidap gangguan mental, seringnya langsung mengarah pada anggapan bahwa orang itu hanya kurang iman, kurang ibadah lah, kurang bersyukur, jauh dari Tuhan, dsb. Padahal itu termasuk stigma negatif yang seharusnya kita luruskan dengan mulai membangun kesadaran terkait kesehatan mental, pun peduli pada keadaan yang seseorang sedang alami terkait kondisi kejiwaannya, alih-alih menghakimi situasinya.

Karena seringnya, tatkala seseorang ingin terbuka tentang problem dalam dirinya, yang terjadi justru dia dikeroyok dengan judgement macam-macam dan bukannya diberi support. Yang seringkali terjadi justru, dia semakin down dengan sikap dan perkataan orang-orang yang seharusnya memberikan penguatan.

Barangkali itu, mengapa sebagian orang memilih untuk tetap diam dan bersembunyi. Padahal di waktu bersamaan mereka sangat butuh sekali akan dukungan besar dari orang-orang, terutama circle terdekat dalam hidupnya seperti orangtua, sahabat, dan keluarga.

Yuk aware sama kesehatan mental diri, termasuk peduli pada orang-orang yang ada di sekitar kita, yang kebetulan sedang berjuang dengan kondisi tersebut.

Aku sendiri setelah konseling ke profesional, merasa jauh lebih legowo, dan semakin aware tentunya. Setiap hari, aku antusias untuk lebih banyak belajar terkait kondisi yang dialami juga issue-issue seputar mental health awareness beserta self healing. 

Kendati saat ini aku berada di fase (sedang) menepi dari keramaian. Akan tetapi, menarik diri untuk kebaikan saat ini tak lagi terasa sebagai sesuatu hal yang ngenes banget. Walau iya, terkadang ada perasaan bersalah, kesepian, tak punya teman, tetapi aku menikmati ini semua sembari menenggelamkan diri pada buku-buku self improvement juga menulis ekspresif sebagai salah satu terapi pemulihan diantaranya.

Beruntung, suami dan anak-anak selalu menemani :)

Dalam proses healing itu sendiri, kita memang perlu menetapkan batasan, agar tak terlalu banyak stimulus di luar dari apa yang kita perlukan. Karena tak semua orang punya rasa empati, minimal bisa bersimpati terkait kondisi diri. Jadi bagaimana kita mengambil sikap, itulah yang terpenting. Jaga jarak, tak masalah kok. Selama itu bisa membuat kita merasa lebih baik, dan fokus pada pemulihan diri.

Kendati ada waktu seperti benar-benar sedang melawan diri sendiri, mempertanyakan keberadaan diri, tapi di titik ini.. aku insyaa Allah sudah jauh lebih siap menghadapi proses healing yang ada di depan mata, sampai nanti seterusnya.

Betapa aku layak mengapresiasi diri sendiri, untuk sampai di titik ini.

Suatu hari nanti, mungkin aku bisa membantu orang lain. Memberdayakan kekurangan menjadi sebuah kelebihan tersendiri. Aku bisa merangkul orang-orang yang berada di titik sepertiku saat ini, menguatkan mereka, berempati dengan perasaan mereka, dan tak mudah menghakimi penderitaan orang lain yang mungkin sangat butuh diberikan penguatan.

Selalu ada hikmah, bukan? Bahkan dari seburuk apapun kejadian yang menimpa. Rasanya, mustahil tak ada kebaikan jika Allah sudah menghendaki sesuatu hal terjadi bagi diri seorang hamba. 

Kali ini, aku bisa wes, belajar mengendalikan pikiran dan suasana hati sendiri. Aku juga tak perlu berusaha lupa dengan semua pengalaman buruk itu. Kalau kata psikologku, semuanya cukup disimpan saja. Kalau sewaktu-waktu dia hadir lagi ke permukaan ingatan, tak apa-apa, dekap saja.. itu semua bagian dari diriku yang tak mungkin hilang. Dengan aku mengakui keberadaannya, menerima emosi yang hadir bersamanya, tak ada lagi penyangkalan, mungkin aku bisa lebih lapang dan benar-benar semeleh untuk healing. Menjadi pribadi yang luar biasa lewat semua ini.

Tak lupa, aku berterima kasih pada Allah. Pada suami dan anak-anakku. Terima kasih untuk diriku yang luar biasa, berharga, dan istimewa. Juga untuk setiap pengalaman, luka, trauma inner child, dan apapun yang pernah membentukku hingga sampai di titik ini.

Bismillah biidznillah, aku akan menjadi lebih, dan lebih baik lagi dari masa ke masa. Kini, hingga seterusnya. Aamiin insyaa Allah. Allahumma aamiin 😊 Doakan aku yaa ❤️



#Bipolar_Survivor

#Sembuh_Bertumbuh

#Jurnal_Pulih

____________________________


Magelang, 24 Agustus 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com

11 Komentar

  1. Wah.. Bener banget ini.

    Sy sendiri jg sering merasakan gejala psikomatis. Lalu hilang ktk semangat ada.

    Nah, semangat inu entah knp na muncul ktk menulis pengalaman. Sedih maupun senang.

    Sy sendiri bkn anak yg serba pede untuk share. Dulu, pernah nulis sgl hal d fb lalu bikin trauma. Akhirnya skrg pindah kw WA story untuk menulis segalanya. Trus nyadar kenangannya ilang. Haha. Kd pindah ke igs setting close friends. Trus, skrg sy mencari hal lain lg untuk realise. Yaitu dg bersepeda sampe capek keluar rumah. Membantu banget buat aku. *ini kok numpang curhat haha

    Doa sy smg kt semua bs selalu melakukan yg terbaik untuk pencegahan ya. Apapun itu. ��

    BalasHapus
  2. Aku sedikit penasaran, Krn salah satu gejala dari psikosomatik, jantung berdebar, sedikit gemetar, itu selalu aku rasain tiap kali harus bicara Ama orang lain. Apa itu gejalanya yang menyangkut kejiwaan, atau hanya Krn aku memang ga pernah confident tiap kali hrs bicara Ama orang baru? Makanya pas zaman kerja dulu, aku selalu LBH suka kerjaan di belakang layar drpd ketemu orang2 mba. Ga pernah suka samasekali. Kdg kalo jantung udah berdebar banget, itu ngaruh ke bicara yg jadi terbata2. Dan biasanya aku JD butuh waktu buat tenangin diri :(

    BalasHapus
  3. Masyaallah, luar biasa perjalanan pulihmu. Semoga dikuatkan dan dimudahkan, ya. Dunia menanti sumbangsihmu yang berharga ini.

    BalasHapus
  4. Semangat mba, dengan berbagi pengalaman melalui tulisan seperti ini, selain untuk membantu diri sendiri, juga membantu teman2 yg belum berani terbuka dan mengambil langkah yg tepat.
    Setelah membaca jd termotivasi utk menemukan jalan menuju sembuh dan pulih jg.

    BalasHapus
  5. Gangguan psikosomatis memang bikin cemas. Sudah seharusnya dicegah. Kalo udah terjadi, buru2 priksa biar cepat sembuh ya. Semangat, Mbak. Semoga cepat pulih.

    BalasHapus
  6. Peluk jauh dariku, Mbak... Terharu membaca curhatanmu ini. Aku juga pernah mengalami gangguan seperti ini. Mungkin baby blues atau post partum. Tak tahu pastinya karena dulu belum paham. Bersyukur bisa membaik dengan curhat pada beberapa teman dan ya, menulis. Kita sama-sama berjuang ya Mbak. Dan yakinlah kita bisa!

    BalasHapus
  7. Tetap semangat dan lebih menyanyangi diri sendiri serta keterbukaan kepada orang terdekat akan membuat lita lebih baik

    BalasHapus
  8. Mungkin ini yang sering diderita oleh kita. tapi bener banget bahwa kita kadang ingin curhat, tapi ujung-ujungnya kita ini dijudge kurang sabar, kurang mendekatkan diri pada Tuhan. jadinya kita semakin terdiam dan menyimpan masalah, dan tak terselesaikan.

    BalasHapus
  9. Sehat selalu ya Mbak. Kita hanya bisa saling mengira dan sedikitpun tidak bisa merasakan apa yang dijalani seseorang. Terlebih dalam ha sakit perasaan seperti ini.
    Pelajaran untuk saya supaya lebih banyak bersyukur dan berserah diri

    BalasHapus
  10. Membacanya membuatku sadar akan banyak hal, kak..
    Bahwa kita harus aware terutama untuk kesehatan mental diri sendiri. Yang payah itu, aku sering denial. Dan bener, efek psikosomatis itu timbul.

    Kira-kira, bagaimana aku bisa melewati fase denial ini yaa..?

    BalasHapus
  11. Saya juga mengalami gangguan psikomatis.yg paling sering adalah sesak nafas dan jantung berdebar.
    Stress dan cemas krn faktor kerja
    Tp sebelum parah sy bisa menghilangksn dgn cara sy sendiri

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)