Pesona Bumi Serumpun Sebalai : Lima Hari Berkeliling Bangka

Oleh : Yusnia Agus Saputri


Picture by @bianglalahijrah_ [Pantai Parai Tenggiri]


Bangka Belitung juga disebut Bumi Serumpun Sebalai. Saya baru tahu jika pulau Bangka dan pulau Belitung sebenarnya terpisah. Niat hati untuk mengunjungi tempat-tempat yang pernah dijadikan sebagai lokasi syuting film Laskar Pelangi harus diurungkan karena untuk sampai di Belitung sendiri, ada dua pilihan yang harus ditempuh. Bisa melalui jalur laut atau jalur penerbangan langsung. Selain waktu yang menjadi pertimbangan tersendiri, kecukupan budget tentunya belum masuk dari itinerary kami sebelumnya. Belum lagi, suami hanya beroleh cuti sepanjang satu pekan dari kantor tempatnya bekerja.

Kami berangkat ke Bangka pada Selasa tanggal 23 Januari 2018. Dari Magelang kami berkendara menuju Bandara Achmad Yani. Terbang dari Semarang kami transit di Bandara Soekarno Hatta. Karena penerbangan selanjutnya delay nyaris dua jam, kami pun menunaikan ibadah shalat dzuhur di mushola yang terletak tak jauh dari ruang tunggu bandara. Untuk mengisi waktu, beberapa teman yang kebetulan satu tujuan, meminta izin untuk nge-vlog bersama Aidan.

Saya masih ingat betul, ketika sepasang bule mendekat dan menyapa kami lagi-lagi karena Aidan. Menjadi tantangan tersendiri untuk melakukan perjalanan bersama balita yang mudah sekali akrab dengan orang yang baru ditemui. Tetapi karena hal itu pula kami sering beroleh teman perjalanan yang perhatian menawarkan bantuan. Aidan tergolong aktif dan senang mengeksplore hal baru yang dijumpai. Bahkan ketika sebagian anak lain menangis dihampiri orang tak dikenal, Aidan justru menyodorkan tangan sembari tersenyum.

“You’re so cute baby.” Ucap si bule perempuan sembari menyambut tangan Aidan. Di pesawat, kami ternyata duduk berjarak dua seat dari tempat duduk mereka. Persis di belakang kami, sepasang pasutri lain yang berprofesi sebagai jurnalis juga akan menuju Pangkalpinang. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Pangkalpinang, kami sudah dipertemukan dengan orang-orang baru yang ramah dan tak sungkan bercerita.

Euforia perjalanan hari itu selalu akan membekas. Bahkan ketika sumber timah terbesar di dunia ini tersketsa dari balik jendela pesawat, dada saya berdebar tak beraturan. Kali pertama mengunjungi pulau yang pernah masuk di bucket list pribadi saya bertahun-tahun sebelumnya. 

Bandara Depati Amir menyambut kami tepat di waktu ashar. Sebelum benar-benar meninggalkan bandara, kami masih sempat berkodak ria di space foto yang ada di bandara, sesaat sebelum benar-benar berjalan keluar. Disambut beberapa supir taxi yang menawarkan jasa, saya mengingat pesan seorang teman untuk tak buru-buru mengiyakan. Melainkan menanyakan harga dan kalau bisa sedikit bernegosiasi. 

Sudah berapa kali kami mengalami pengalaman dikibuli supir taxi yang memasang tarif mahal melebihi harga semestinya, dengan dalih argo di taxi mereka mati.

Bersyukur sebab taxi di area bandara tak serewel yang kami bayangkan. Kami pun menyusuri jalan menuju kota Pangkal Pinang dengan supir taxi yang ramah berbagi cerita seputar tempat yang kami lewati. Mengetahui kami turis lokas, beliau bahkan menawarkan diri untuk membersamai perjalanan kami menyusuri destinasi kota Bangka selama beberapa hari selanjutnya. Jantung terasa berdebar kian kencang, ada dua mimpi yang terealisasi di tempat ini. Bucket list impian dan perjumpaan dengan eyangnya Aidan. 

 

Hari ke 1

Kami memilih beristirahat di kamar. Meluruskan punggung. Berbaur dengan orang-orang yang menyambut kedatangan kami.


Hari ke-2

Kami baru bisa meluangkan waktu berkunjung ke destinasi sekitar. Di hari kedua ini kami melipir ke Pantai Pukan, salah satu pantai terbaik yang dimiliki kota Bangka. Pasir putih, ada gubuk-gubuk kayu di sepanjang pesisir pantai. Pantai ini juga cukup terawat, terbukti karena tak banyak sampah berceceran di tempat ini. Kami tiba di Pukan bertepatan ketika air laut sedang surut, membuat kami bisa berjalan kaki menyusuri pantai yang tergolong landai. Bahkan surutnya air laut membentuk dataran pulau pasir atau disebut juga gosong, yaitu pulau kecil yang hanya terdiri atas pasir. Pulau pasir ini akan kembali tenggelam ketika terjadi pasang laut.

 

Berkat papan petunjuk ini kami menemukan pesona keindahan Pantai Pukan


Pantai kedua di hari yang sama yaitu pantai Karang Mas Air Anyir. Kami hanya singgah sejenak sebelum beranjak ke pantai lain. Jadi di jalur yang sama, ada beberapa pantai yang hanya berjarak sekian ratus meter hingga beberapa kilometer saja.

Nah di tempat ketiga, panoramanya tak kalah dengan keindahan pantai Pukan. Rasanya enggan buru-buru pulang setibanya di pantai ini. Apalagi jika kita bertandang ke sini di kisaran pukul 3 hingga 5 sore. Pantai Temberan menyuguhkan keramahan dengan keindahan langit sore yang sangat menenangkan sekali. Membuat jiwa dan suasana begitu damai, sejuk, betah berlama-lama.

Begitu turun dari kendaraan yang kami sewa hari itu, saya sudah bersiap-siap dengan kamera yang sejak awal tergantung di leher. Sepanjang jalan saya berkesempatan mengabadikan lebih banyak potret di berbagai sudut kota Bangka. Karena masih di satu jalur dari pantai-pantai sebelumnya, air laut di Temberan juga bertepatan saat surut. Keadaan pantai sepi pengunjung. Hanya ada beberapa warga setempat beserta anak-anak yang tertawa gembira, tengah bermain bola di sepanjang pantai yang berpasir putih bersih, bak lapangan tanpa rumput.


Sepanjang mata memandang, Pantai Temberan

Mata saya tertuju pada ayunan kayu di sebuah pohon yang miring tepat tak jauh dari jalur masuk ke pantai. Sempurna sekali rasanya, menikmati pemandangan di Pantai Temberan yang tak hanya memanjakan mata tetapi memberikan terapi ketenangan pada jiwa pengunjungnya. Merasakan nyanyian burung pipit, desiran angin dan pohon-pohon cemara yang bergerak gemulai. Kami beristirahat sejenak di salah satu pondok sederhana beratapkan daun rumbiah yang memang disediakan untuk disewakan pada para pengunjung pantai. Pantai di kabupaten Bangka benar-benar memiliki daya tarik yang sulit dilupakan. 

Bahkan ketika kami memutuskan melanjutkan perjalanan dikarenakan hari akan beranjak sore, saya merasa berberat hati. Sebuah bola menggelinding tepat ke arah saya, bocah-bocah yang tadi sedang bermain, berlari mendekat. Tetapi sebelum itu saya sudah lebih dulu menendang bola tersebut ke arah mereka dan disambut dengan gelak tawa mereka. Seorang bapak, warga setempat, bahkan ikut terkekeh menyaksikan itu.


Jembatan Emas

Dari Pantai Temberan yang terletak di desa Air Anyir kecamatan Merawang, kami langsung ke Jembatan Emas yang digadang-gadang sebagai ikonnya kota Bangka Belitung. Jembatan ini pula yang menjadi penghubung Kabupaten Bangka dengan ibu kota Provinsi Babel yakni Pangkal Pinang. Dari segi fungsinya, Jembatan Emas telah menggunakan teknologi Bascule di mana jembatan dapat dibuka tutup ketika ada kapal-kapal besar yang melintas di area pelabuhan tak jauh dari jembatan.

Bertepatan sewaktu kami tiba di sana, jembatannya baru mulai terangkat karena sebuah kapal besar akan melewatinya. Tanpa melewatkan momentum itu, saya dengan berlari kecil mengeluarkan android dari saku tas punggung. Sayang sekali sebab baterai kamera DSLR lowbat saat di perjalanan sebelum tiba di Jembatan Emas.

Berdiri di antara kerumunan orang yang juga ingin mengambil foto, saya bergerak maju perlahan untuk menjangkau area yang lebih dekat agar gambar yang didapat bisa lebih fokus dan apik. Jembatan Emas menjadi satu di antara tujuan wisata kota Bangka saat ini. Di malam hari, sembari menikmati keindahan lampu-lampu LED yang menyala, kita juga bisa berburu jajanan kuliner di stan-stan yang buka di sekitar area jembatan. Bagi rombongan yang membawa anak kecil, terletak tak jauh dari jembatan ada arena playground untuk bermain anak.

 

Jembatan Emas dari sudut lain


Menutup hari, kami juga mengunjungi toko buku Gramedia yang ada di Pangkal Pinang. Toko buku yang terbilang rapi, cukup lengkap, dengan gedung yang lumayan luas. Sayangnya, kami tidak diperkenankan untuk mengambil foto. Gambar yang saya sertakan di sini, saya ambil sebelum adanya larangan. Beruntung karena petugas yang menghampiri kami memperkenankan foto yang ada boleh dibawa pulang.


Gramedia Pangkal Pinang


Bangka Belitung adalah pulau dengan destinasi yang indah. Sangat cocok untuk menyalurkan minat fotografi. Hampir setiap tempat yang kami datangi direkam netra juga terabadikan lewat kamera DSLR serta memori handphone.

Rata-rata destinasi di Bangka Belitung terbilang masih banyak yang belum dikomersilkan. Jika pun dikenakan biaya, harga untuk tiket masuk kawasan wisata tak perlu merogoh kocek terlalu. Kami sendiri hanya bermodal kendaraan sewaan, beberapa spot yang disambangi tak mengharuskan biaya barang sepeserpun. Terbilang ngetrip yang hemat sekali bukan? Ditambah penduduknya juga ramah-tamah. 

Kita akan sangat sering mendengar kata "Aok.." di setiap pembicaraan warga setempat yang bermakna iya. Kata "Aok" sendiri sebenarnya bukan kali pertama saya mendengarnya. Orang-orang Melayu di Riau juga sering mengucapkan Aok. 

Perlu diketahui bahwa ternyata ada perbedaan baik dari logat maupun bahasa di setiap daerah bagian Bangka. Baik itu di Bangka Tengah, Bangka Barat, Bangka Selatan, Pangkalpinang, dan lainnya. Ada sejarah yang melatarbelakangi perbedaan itu.

Selama di Bangka saya lebih banyak mengambil gambar sembari belajar mendalami minat fotografi. Sebab katanya fotografi didominasi oleh kemauan belajar dan mau mencoba, selain karena memang mempunyai bakat khusus dari sananya. Fotografi sama halnya dengan menulis, ada seni dan keterampilan khusus yang memerlukan latihan dan keterbiasaan.

 

Alun-Alun Taman Merdeka, Pangkal Pinang


Hari ke-3

Destinasi pertama yang ingin kami tuju adalah Danau Kaolin. Sayangnya ketika mengikuti petunjuk peta dari google maps, akses internet terputus di tengah jalan. Kendati saat tiba di Bangka kami sudah mengganti sim card dengan nomor telepon setempat, selalu saja koneksi internet terputus begitu memasuki kecamatan Merawang, menuju arah Sungailiat. 

Kami pun menyasar ke pemukiman warga etnis Tionghoa, setelah sebelumnya kami sempat melewati sebuah Kelenteng. Kendati bermodal info dari masyarakat setempat, pada akhirnya kami memilih untuk mencari sendiri lokasinya. Masuk jalur yang satu dan keluar jalur yang lain. Sampai akhirnya kami menemukan papan petunjuk arah bertuliskan Kolong Biru yang menempel di salah satu pohon.


Kolong Biru

Kolong Biru dengan pemandangan yang sangat mengesankan. Tadinya kami sempat mengira jika Kolong Biru ini lah yang dinamakan Danau Kaolin. Tetapi setelah ditelusuri lebih jauh, Danau Kaolin sendiri terletak masih cukup jauh dari Kolong Biru yang kami sambangi hari itu. Terlebih karena Danau Kaolin memiliki dua bekas galian timah dengan air yang berwarna biru dan hijau. Berbeda sekali dengan penampakan yang ada di Kolong Biru. Memperhitungkan jarak dan hari yang semakin terik, kami mau tak mau memilih berpuas diri dan turun mengabadikan keindahan Kolong Biru. 

Suhu udara di Bangka terasa amat panas dan gerah, keputusan untuk melanjutkan perjalanan di tengah terik tentu hanya akan berbuah kulit gosong kemerahan jika menggunakan roda dua.

Namun dengan keindahan Kolong Biru yang memiliki daya pikat tersendiri, panas hari itu tak terasa menggigit kulit. Kami bertiga tetap menikmati sembari mengambil banyak gambar.

Dari Kolong Biru kami kembali ke Jembatan Emas untuk menuju Pantai Koala yang terletak persis di bawahnya. Sambil menemani Aidan yang tampak senang bisa bermain air. Saya menikmati keindahan pantai dan langit sore, berderet pohon kelapa dan cemara, angin sejuk dengan keramaian pengunjung yang datang pada sore itu. Kami bahkan sempat berkenalan dengan beberapa orang yang ternyata sedang memasang jala. Dikarenakan kawasan wisata ini juga merupakan pintu masuk pelabuhan, tak heran jika kapal-kapal nelayan terlihat lalu-lalang setiap saat.

Pengunjung juga bisa memancing, berenang, hingga mencoba wahana permainan keluarga.


Aidan tampak gembira bisa berenang di bibir Pantai Koala


Masih banyak destinasi yang belum sempat kami kunjungi. Masih ingin berlama-lama di Bangka. Masih ingin mengeksplore kebudayaan setempat yang penuh ragam dan keunikan, tentang suku Melayu Bangka dan etnis Tionghoa yang hidup rukun berdampingan. Masih penasaran dengan otak-otak bakar dan makanan khas Bangka lainnya. Masih banyak hal yang ingin kutemui selama berada di tempat ini.


Beach Resort and SPA, Parai Tenggiri


Hari ke-4

Kendati penat mulai terasa, kami masih mengeksplore sudut kota Bangka dengan berkunjung ke Pantai Parai Tenggiri di Sungailiat. Di pantai ini lah kami duduk santai berlama-lama, menikmati keelokan yang tersuguh. Pantai berpasir lembut nan halus, ada banyak bebatuan besar yang digandrungi sebagai tempat berfoto ria. Belum lagi gradasi warna biru di bentangan laut begitu amat memanjakan mata. Untungnya, kami membeli beberapa cemilan sebelum masuk ke kawasan Parai Beach Hotel and Resort. Pantai yang katanya mirip replika pantai indah di Bali, memang berlokasi di dalam kawasan resor.

 

Mengintip keindahan sisi lain dari pantai Parai Tenggiri


Sambil menyantap cemilan, mata menikmati keelokan yang memikat hati. Berbincang santai dengan kawan seperjalanan, seolah enggan untuk beranjak barang sedetik dari tempat ini. Masih sama, saat tiba di kawasan pantai hanya ada beberapa pengunjung yang mengambil tempat sendiri di bagian lain dari Parai Tenggiri. Kami bertiga, lebih memilih duduk berteduh di bawah salah satu pohon rimbun, persis di antara resor yang menghadap langsung ke pantai.  

Kantuk pun menyergap ketika angin berembus pelan di tengah siang hari.

Puas bermain di kawasan Parai, kami kembali ke Pangkal Pinang dan singgah di alun-alun Taman Merdeka. Datang di sore hari, nuansa dan suasananya terasa jauh menyenangkan. Berbagai macam sajian khas yang dapat dinikmati. Jika berkunjung di akhir pekan akan ada pasar malam yang menjual berbagai barang dan banyak pertunjukan menarik. Dari Teluk Seroja, Touring Jeep, hingga fashion carnaval dan masih banyak lagi. Siang dan malam, alun-alun Taman Merdeka tak pernah sepi pengunjung.

 


Alun-Alun Taman Merdeka




Sayangnya di hari ke-lima kami sudah harus kembali bertolak pulang ke Magelang. Lima hari rasanya tak cukup untuk menikmati semuanya. Tetapi terima kasih pada Bangka Belitung yang telah memberi kami banyak pengalaman menyenangkan walau pulang dengan membawa serta warna kulit yang bertambah kian eksotis saja.

Untuk foto-foto lainnya hasil trip selama di Bangka Belitung bisa teman-teman lihat di akun Instagram pribadi saya; @bianglalahijrah_


__________________________

Magelang, 26 November 2020

Copyright : @bianglalahijrah_

[original picture taken by me]

4 Komentar

  1. wah asyik banget ya, sama dg belitung juga banyak wisata pantai yg belum dikomersilkan

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Bund. Semoga suatu hari direzekikan pula untuk traveling ke Belitung. Aamiin :)

      Hapus
  2. Aku udah pernah ke Belitung, tapi belum ke Bangka :). Masih penasaran dan pengen banget kesana. Dulu aku juga kita itu sama pulau mba, ternyata terpisah :D.

    Kenapa aku pgn ke Bangka, sbnrnya Krn kuliner Bangka yg enak2 sih. Walo blm prnh kesana tp bbrp makanan Bangka banyak dijual di JKT. Martabak Bangka, mie ayam Bangka, dan paling aku favoritin itu pempek Bangka Krn kuahnya beda Ama Palembang. Duuuh enak bgt. Makanya bener2 kepengin nyobain lgs kuliner Bangka di sana :D.

    Kolong biru td aku pikir danau kaolin juga :p. Ternyata bukan yaaa. Sukaaa ih liatnya, warna turkoise nya seolah menipu mata yaa, kayaknya aman utk berenang , padahal bahaya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kuliner Bangka di mana-mana memang juara ya. Selama berapa hari di Bangka, kami punya satu tempat langganan buat jajan empek2 plus tekwan juga. Aslik enak banget emang. Pengen balik ke sana lagi buat berburu kuliner khas Bangka lainnya.

      Karena itu hasil galian timah, jadi tidak disarankan untuk berenang. Bahayaaa. Saya sendiri terpikat dengan warna birunya itu loohh.. apik ya :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)