Tepat setahun pasca keguguran karena blighted ovum, yakni kondisi embrio yang gagal bertumbuh dan kehamilan yang tak berkembang berujung pada abortus di usia kehamilan tiga bulan lewat seminggu. Masih terbayang bagaimana sakitnya, pendarahan terus menerus, kram perut luar biasa, barangkali juga karena obat yang diberikan oleh dokter kandungan sebagai induksi. Sejak pendarahan awal hingga abortus, aku melaluinya di rumah. Dipantau sepupu yang berprofesi sebagai dokter melalui aplikasi WhatsApp.

Sedih mengingat itu. Karena usai keguguran aku harus memulihkan diri baik fisik maupun psikis, belum lagi judge seorang teman yang menganggap kehamilan kali itu tak berhasil sebab aku tak menginginkannya. Di waktu-waktu ketika support lebih dibutuhkan, masih ada orang yang tega memperuncing lisan dan jemarinya. Realitanya, manusia acap kali demikian bukan?

Salah satu cara untuk sembuh, aku memperhatikan betul saran dokter untuk memperbaiki pola hidup. Dari usaha mengubah kebiasaan buruk, kesehatanku berangsur membaik dan aku pun mulai terobsesi dengan gaya hidup sehat. Berbagai buku/journal/artikel maupun video tentang kesehatan, pengobatan, sampai pada olahraga kupelajari sebanyak mungkin. Aku mulai berbagi ilmu dan progress hidup sehat yang dilakoni melalui grup WA maupun akun Instagram pribadi. Banyak yang terinspirasi karena selama proses mengubah pola hidup menjadi lebih sehat, aku dibonusi berat badan ideal dengan fatloss sebanyak 15 kg. Aku percaya diri menamainya diet sehat, tanpa obat. Lima bulan setelah mengubah pola hidup dan tepatnya setahun pasca keguguran, aku mendapati dua garis merah pada alat uji kehamilan seminggu menjelang prosesi wisuda di Bandung.

Alhamdulillah, selain berat badan ideal.. bonus lainnya adalah hamil!

Hamil muda, perjalanan pulang pergi dari Magelang-Bandung-Magelang dan mual muntah yang luar biasa mendera. Berbeda dengan kondisi saat hamil anak pertama. Di kehamilan ketiga ini, fisikku jauh lebih lemah. Barangkali karena diperparah dengan mual muntah yang nyaris sepanjang hari. Baik siang maupun malam. Sedikit makanan yang bisa masuk ke perut, sekalipun suami sudah berikhtiar membelikan makanan yang kuidamkan.

Mual muntah berlangsung hingga usia kehamilan memasuki lima bulan. Rasa penasaran untuk segera mengetahui jenis kelamin bayi tertunda sebab beberapa hal. Ditambah kondisi pandemi karena covid19 mulai mewabah disusul lock down. Baru di kehamilan tujuh bulan lah kami bisa berkunjung ke dokter sps kandungan terdekat dengan situasi yang terasa mencekam, was-was, dan protokol kesehatan ketat karena berada di area rumah sakit.

Di trimester tiga kehamilan, ketika rasa cemas tak berhenti karena harus keluar rumah di tengah pandemi, aku dihadapkan pada kekhawatiran lain karena bayi dalam kandunganku ternyata sungsang. Drama kehamilan di trimester tiga pun berlangsung sejak itu. Tiap dua minggu sekali hingga usia kehamilan sembilan bulan, aku harus bolak-balik USG demi memastikan posisi bayi. Apakah sudah normal atau masih posisi sungsang. Saran dokter, aku diminta memperbanyak posisi sujud, sampai-sampai diajari cara menungging yang benar dalam kasus kehamilan sungsang.

Dari seorang teman, aku dikirimi birthing ball untuk senam hamil. Awal-awalnya hanya terpakai beberapa kali karena tak tahu bagaimana tutorial pemakaiannya. Setelah kehamilan beranjak delapan bulan, aku mulai menyentuh gym ball lagi dengan beberapa gerakan yang dipercaya dapat membantu bayi lekas mapan dan turun ke panggul. Aku juga mengafirmasi bayi di kandungan agar segera memutar posisi, mudah dalam persalinan, minim trauma dan proses yang cepat. Afirmasi itu terus menerus kuucapkan, terutama usai sholat.

Hasilnya, tepat di usia 36 minggu kehamilan.. dokter memberi tahu bahwa bayi sudah berada di posisi normal. Kepala di bawah, turun ke panggul. Saking bahagianya, pertanyaan yang sudah kupersiapkan pun terlupa begitu saja. Aku tersenyum sumringah saat keluar dari ruang periksa. Setidaknya, satu kekhawatiran besar sudah berlalu. Aku hanya tinggal menata fisik dan mental demi menghadapi persalinan yang semakin dekat.

Untungnya, saran diet dari dokter tak sepenuhnya kulakoni begitu mengetahui posisi bayi yang sungsang. Waktu itu aku diberi dua alternatif persalinan. Yang pertama melalui prosedur Sectio Saecaria (SC) padahal aku memiliki phobia tersendiri dengan alat-alat medis, apalagi membayangkan bagian tubuhku harus dibedah di ruang operasi. Opsi kedua, aku tetap bisa menjalani persalinan normal dengan diet khusus di kehamilan demi menjaga berat badan bayi lahir tidak terlalu besar. Dikarenakan ini sungsang, BB bayi tidak boleh melebihi berat badan anak pertama kami. Jadi harus di bawah tiga kilogram.

Dokter kandungan begitu pro aku tetap bisa melahirkan normal walau bayi dalam kondisi sungsang. Beliau kemudian bercerita tentang pengalaman saat membantu persalinan normal pada kasus bayi sungsang. Tak tanggung-tanggung video pasien melahirkan sungsang diperlihatkan padaku agar aku tak perlu takut menghadapi persalinan normal dengan kondisi demikian. Bisa dibayangkan bagaimana gemetarnya saat diminta melihat video tsb dengan tanpa berkedip. Dokter tak segan menegurku karena hendak menutup mata saat melihat video :'D

Ya kan malu, Dok. Ditambah perut ikutan mulas dan ada sensasi lain sepanjang menyaksikan video. Tak perlu diragukan memang karena beliau dokter yang sudah puluhan tahun berkiprah di spesialis obgyn. Padahal, kelahiran sungsang beresiko besar jika harus melalui persalinan normal. Di antaranya pendarahan, cedera pada bayi, bahkan yang paling menakutkan yakni kematian bayi. Hasil dari berselancar di internet memang menambah pengetahuan seputar prosedur melahirkan secara saecar dan beberapa hal berkaitan dengan kehamilan sungsang. Tetapi hal itu pula yang menimbulkan kekhawatiran lebih di benakku.

Di waktu bersamaan, aku beroleh support dari kakak perempuan suami yang bahkan sudah pernah melahirkan normal dengan bayi sungsang yang berbobot 3.4 kilogram. Terbilang besar. Dan di zaman anak pertama beliau dulu, persalinan di rumah masih diperbolehkan dan belum ada peraturan denda. Hebatnya lagi beliau melahirkan hanya didampingi paraji (dukun kampung), bidan tiba di tempat setelah sang bayi terlahir.

Kendati banyak dukungan dan doa yang mengalir, pokoknya selalu ada alasan untuk merasa cemas berlebih. Takut operasi tetapi juga tak siap melahirkan normal dengan bayi sungsang. Khawatir dengan resikonya. Tetapi bagaimanapun alternatif melahirkan, selalu ada resiko bukan? Upaya terbaiknya hanya meminimalir resiko dan mengurangi angka kematian baik pada bayi maupun sang ibu.

Tiba lah waktu yang ditunggu-tunggu. Seminggu menjelang due date, kontraksi palsu terasa. Mungkin karena kelahiran pertama hingga di anak kedua ini berjarak lima tahun lebih, anggap saja aku yang lupa bagaimana rasanya kontraksi palsu ^^' Alhasil, baru kontraksi sedikit sudah prepare lengkap dan gas ke bidan terdekat. Sayangnya waktu itu belum ada pembukaan berarti, tak ada flek, tak ada rembesan air ketuban, tetapi bidan meyakini bahwa posisi bayi memang sudah di ambang pintu lahir. Tinggal menunggu pembukaan saja. Kontraksi serupa pun sudah kualami di kehamilan 36 minggu. Waktu itu tetangga bahkan mengira sudah akan lahiran. Tetapi lagi-lagi kami terpaksa pulang. Belum ada tanda-tanda vital bahwa persalinan akan berlangsung hari itu juga.

Sembari merasakan kontraksi palsu yang datang pergi, satu minggu full menjelang HPL aku semakin rajin menggunakan gym ball. Dari bangun tidur, setelah beraktivitas, sampai sebelum beranjak tidur. Ikhtiar induksi alami pun dilakukan. Dari squat puluhan kali, makan nanas muda, minum air kelapa, makan makanan yang benar-benar diminati (alibi ibu hamil sih ini wkwk), sampai pada pijat perut untuk menata letak bayi yang ternyata lagi-lagi menggeser perhitungan manusia. Kalau kata paraji aku akan melahirkan malam harinya atau selambat-lambatnya keesokan pagi setelah dipijat. Ternyata belum lahir-lahir juga sampai waktu yang diramalkan :'D Ini menjadi catatan bahwa perhitungan manusia memang tak pernah bisa melompati ketetapan Allah.

Pokoknya, semua orang mulai gemas dan menganggap kami membuat lelucon. Ya kan sudah berapa kali bolak-balik ke klinik bersalin, eh tahunya pulang lagi ke rumah, bumil ini pun masih sehat pula. Masih beberes rumah lagi setelah itu.

Gemesh kan?! Banget!

Nah, due date pun tiba. 16 Juli 2020 persiapan terakhir menjelang HPL yang tinggal hitungan jam. Kebetulan hari itu kebagian jatah yasinan bapak-bapak di rumah. Aku ikhtiar doa lebih kuat. Usai mengaji, perbanyak istighfar di kamar, tak lupa mengamalkan doa maryam dan doa yang diajarkan Rasulullah untuk kelancaran persalinan Fatimah Az-Zahra putri tercintanya. Aku baca terus, kemudian ditiup ke segelas air putih, setelah itu diminum dan sisanya diusapin ke perut sampai panggul. Namanya ikhtiar kan?

Usai acara yasinan, sewaktu mapan tidur aku posisikan badan miring ke kiri. Karena memang posisi ke kiri adalah posisi paling aman dan dianjurkan begitu kehamilan memasuki trimester ketiga. Miring ke kiri juga efektif untuk mempercepat pembukaan. Meski sakitnya juga jauuuuuh lebih terasa. Malam itu memang kontraksinya mulai teratur, suami pun sudah siaga.

Jam satu malam aku bangun minta ditemani ke belakang. Terasa seperti ada rembesan. Begitu dicek ternyata flek darah. Aku optimis kalau flek kali itu murni tanda pembukaan, bukan karena pemeriksaan dalam. Karena sehari sebelum HPL, sewaktu ke klinik aku kekeuh menolak untuk diperiksa dalam. Pengalaman sebelumnya, memang ada flek tiap habis diperiksa dalam tetapi bukaan tetap belum bertambah.

Bidan di puskesmas bahkan berkata jika bukaan satu pada kehamilan anak kedua berarti belum ada apa-apanya. Sama saja dengan belum ada pembukaan. Nah, hasil dari browsing di internet. Aku menemukan satu artikel mengenai ini dan ternyata memang benar. Sejak kehamilan memasuki usia 36 minggu, serviks dengan sendirinya membuka kurang lebih 1 cm. Semoga jadi informasi untuk teman-teman yang sedang hamil anak kedua ya :)

Karena masih tengah malam, kuputuskan untuk tidur sembari meminta suami mencatat durasi kontraksi lewat aplikasi khusus pendekteksi kontraksi di android. Setiap kali kontraksinya datang, aku bisa tahu  jarak antara kontraksi pertama dan selanjutnya, juga berapa lama kontraksi itu berlangsung. Meski berusaha dibawa tidur, nyatanya tetap tak bisa tidur nyenyak. Sepanjang itu aku tetap berbaring miring ke kiri, kaki kanan diganjal bantal, menikmati kontraksi yang semakin kencang dan teratur.

Suami yang memantau perkembangan kontraksi meminta untuk segera ke klinik saja, karena jarak dari rumah ke klinik pun terbilang jauh. Pukul empat pagi menjelang subuh, kontraksinya sudah lebih total. Diajak berbicara hanya bisa mengangguk menahan sakit. Wajah? Jangan ditanya kalau ekspresi orang kesakitan bagaimana.

Suami lantas bergegas menyiapkan kendaraan, hanya kami berdua di subuh hari yang masih gelap gulita. Aidan yang masih tertidur pulas pun terpaksa kami titipkan pada Mbahnya. Di perjalanan, kontraksi terus terasa. Aku meremas paha setiap kali mulasnya datang. Suami sesekali bertanya sembari mengemudikan mobil dan memantauku di kursi belakang. "Gimana? Masih kuat nggak?"

Aku mengangguk mantap. "Udah, fokus aja Yah. Masih kuat insyaa Allah."

Selang tak lama, mobil justru berbelok di bidan delima yang kami datangi seminggu sebelumnya. Aku disambut bu bidan dan pendampingnya. Bidan pendamping segera melakukan pemeriksaan dalam dan ternyata sudah bukaan tiga. Aku seketika lemas. Karena sudah merasakan kontraksi selama seminggu. Kurang tidur, psikis juga lelah. Persiapan untuk berjuang di ruang bersalin rasanya tak maksimal dan kesakitan luar biasa. Aku mulai menangis, memohon pada suami maupun bu bidan. Aku meminta untuk dirujuk ke rumah sakit dan menjalani operasi saecar saja. Rasa sakit yang teramat mampu mengalahkan rasa takut pada pisau bedah. Aku tak gentar jika harus masuk ke ruang operasi asal rasa sakit kontraksi kala itu segera berakhir.

Tetapi suami menguatkan, memohon agar aku bertahan sebentar lagi dan ia tetap mendampingi hingga anak kedua kami terlahir. Ya jangan salah dong kalau beliau ikut dijambak-jambak. Lengan bidan juga tak lepas dari remasan tanganku. Entah berlebihan atau memang aku tipikal orang yang tak bisa menahan rasa sakit, aku terus memukul-mukul tembok setiap kali kontraksi meremas perut. Duuhh kalau dibayangkan, memang sedikit lebay. Tetapi siapa lagi yang peduli kalau sudah di puncak sakit begitu? Rasa sakitnya berkurang saja sudah bersyukur. Intinya, aku ingin si bayi lekas lahir.

Tubuh sudah bermandi peluh. Tawaran makan dan minum tak lagi diindahkan. Alhasil, demi menambah tenaga, aku diberi cairan infus. Satu jam berselang dari bukaan tiga, tiba-tiba hasrat mengejan muncul otomatis. Aku menahan jalan lahir gara-gara refleks ngeden sedang bidan melarang karena belum pembukaan lengkap.

"Duh, Buk. Ini ngeden sendiri, nggak bisa ditahan." Ucapku dengan suara terbata-bata karena berbicara sambil ngeden, mules juga ^^'
"Ya udah, coba kita cek lagi ya. Sudah ada pembukaan apa belum," dari posisi miring aku balik ke telentang, dan.. akhirnya!
"Lah, udah bukaan lengkap ternyata. Boleh ngeden kalau mau ngeden ya."

Mendengar ucapan bidan, suara tangisku menjadi lebih kencang. Mau ngakak tetapi bisanya nangis 😂 Intinya lega karena dari bukaan tiga ke bukaan lengkap hanya memakan waktu satu jam. Saat mulas berikutnya terasa, bidan memberi aba-aba, suami memegang pundakku erat, sampai pada kali ketiga mengejan disusul tangis bayi yang melengking kuat di pagi Jum'at hari itu. Masyaa Allah tabarakallah.

Kontraksi yang luar biasa menyakitkan ternyata bertujuan mempersingkat waktu persalinan dengan mempercepat pembukaan. Kabar baiknya, karena rutin senam hamil dan menggunakan gym ball terutama sewaktu hamil tua. Persalinan anak kedua kembali dibonusi perineum utuh. Tanpa robekan. Tanpa jahitan. Ini prestasi yang seketika mengecilkan rasa kontraksi sebelumnya, karena tak perlu bertemu jarum jahit yang katanya seperti kail pancingan. Alhamdulillah sakitnya sudah berakhir. Disusul haru dan bahagia menatap bayi lelaki kami.

Dhafin Ushaim Al-Fatih memilih hari yang sama seperti kakaknya, Aidan Fayyadh Al-Fatih. Anak lelaki ibu yang sama-sama lahir di hari Jum'at. Yang ibu harapkan, keduanya sama-sama menjadi generasi mulia penerus Muhammad Al-Fatih. Bahagia, sukses di dunia hingga akhiratnya. Bermanfaat bagi sesama. Menyayangi dan disayangi sesama. Patuh dan berbakti pada kedua orangtua. Menjadi pewaris nabi. Anak yang sholeh dan mushlih. Menjadi orang yang berilmu dan bermanfaat bagi agama Allah. Hafidzul Qur'an kendati lahir dari orangtua yang bukan apa-apa. Aamiin yaa mujiibu, allahumma aamiin.

Hari ini si bayi sudah berusia 2 bulan 9 hari. Begitu sudah lahir, waktu justru berjalan cepat sekali. Kesibukan momong bayi dan menjadi ibu menyusui dengan segala keriweuhannya, cukup menguras waktu dan energi. Itu mengapa, menulis menjadi tantangan tersendiri. Terlebih sekarang statusku berganti menjadi ibu muda beranak dua. Masyaa Allah. Selalu takjub pada skenario Allah, mengingat sewaktu anak-anak dulu pernah terlintas di benak untuk menolak fitrah hamil dan melahirkan. Tetapi Allah tunjukkan keajaiban, indahnya, luar biasanya menjalani peran dan fitrah seorang ibu. Alasan mengapa Islam begitu memuliakan seorang perempuan terutama ibu.

Bahkan Rasulullah sendiri mengutamakan ibu tiga kali sebelum seorang ayah. "Ibumu, ibumu, ibumu, kemudian ayahmu."

Terima kasih untuk dokter kandungan yang juga diam-diam mengafirmasi diriku untuk mantap menghadapi persalinan normal. Bukan hanya bisa melahirkan normal seperti halnya anak pertama, tetapi juga bayi berada pada posisi mapan menjelang lahir. Terima kasih untuk bu bidan dan pendampingnya yang sabaarr sekali ngemong ibu yang satu ini. Teringat ucapan bu bidan yang mencandaiku sebelum pulang ke rumah, "Nah, untung nggak jadi saecar ya Mbak. Ternyata dikasih cepat."

Iya juga ya. Malu jika mengingat kengototanku untuk dibawa ke rumah sakit.

Namun yang paling utama semua tak lepas dari peran, support, doa, dan pengorbanan suami. Maafkan istri yang sudah banyak sekali merepotkan ini. Terima kasih untuk semua hal yang diberi :) Allah yang akan membalasnya dengan berkali-kali lipat kebaikan di dunia maupun di akhirat. Aamiin insyaa Allah.

Nah, buibu maupun para bapak yang istrinya sedang hamil. Kesiapan mental itu penting sekali bukan hanya ketika hendak menghadapi persalinan. Rasa percaya diri, doa, dukungan, afirmasi positif menguatkan psikis sang ibu. Karena dari anak pertama pengalaman persalinanku juga memakan waktu yang terbilang cepat hanya 5 setengah jam, bobot bayi 3.1 kg dan perineum utuh tanpa robekan. Padahal jika mendengar cerita dari teman-teman yang lain. Ada yang justru sampai berhari-hari menunggu kemajuan pembukaan. Ada yang harus diinduksi tetapi tak kunjung melahirkan hingga akhirnya masuk ruang operasi.

Setiap kelahiran memang memiliki kisah perjuangannya masing-masing. Karena itu aku berbagi tips yang barangkali pula dilakoni ibu hamil/ibu yang hendak bersalin lainnya. Beberapa tips persalinan mudah, bonus perineum utuh, berdasarkan pengalaman pribadiku :

1. Perbanyak gerak, terutama jalan kaki. Terlebih begitu kehamilan memasuki usia 8 bulan ke atas.

2. Penuhi cairan tubuh selama hamil, dengan minum sesuai kebutuhan harian. Ada hitung-hitungannya berdasarkan berat badan ibu.

3. Jangan malas konsumsi obat yang diberikan oleh bidan/dokter kandungan. Pahit? Tak enak? Bikin mual? Demi si jabang bayi, telan saja buibu ^^9

4. Rutin senam hamil dan gunakan gym ball/birthing ball terlebih di usia kehamilan 37 minggu ke atas. Karena pada kehamilan masing-masing perempuan berbeda ya. Ada yang melahirkan lebih cepat dari perkiraan. Tetapi umumnya, persalinan memang sudah bisa berlangsung sejak usia kehamilan 38 minggu. Untuk tutorialnya bisa searching video "senam hamil dengan birthing ball" di youtube.

Berdasarkan pengalamanku, rutin gym ball selama hamil mempercepat proses persalinan dan pembukaan juga. Tak sedikit testimoni yang berhasil melahirkan normal tanpa robekan setelah rutin gym ball saat kehamilan berlangsung. Selamat mencoba!

5. Induksi alami di 1-2 minggu terakhir menjelang HPL. Pengalaman di anak kedua aku mengupayakan berbagai induksi alami yang disarankan beberapa orang maupun artikel yang dibaca. Tetapi yang paling efektif adalah stimulasi puting payudara dengan cara dipijat-pijat pada bagian aerola dan memanfaatkan kandungan hormon prostaglandin yang terdapat pada sperma karena dapat memicu kontraksi alami. No problem untuk bermanja dengan suami menjelang persalinan, justru dianjurkan ya buibu.

6. Perbanyak doa. Minta maaf ke orang-orang terdekat sekiranya punya salah. Jangan lupa minta didoakan pula agar persalinan berlangsung lancar, baik dan tanpa kendala.

7. Afirmasi positif pada diri sendiri beserta bayi di kandungan. Ingat kata pamungkasnya Mbak Dewi Hughes "Semua yang kita pikirkan, terjadi sekarang!" Sambil menjentikkan jari. So, sering-sering lah ajak bayi berbicara.

8. Makan enak, hati senang, perut kenyang. Jangan lupa, harus pula bergizi dan penuh nutrisi. Sebenarnya tak hanya soal makanan ya. Apapun itu memang harus dibawa happy. Enjoy. Tenang. Bagian dari mempersiapkan mental. Nikmati waktu-waktu terakhir kehamilan, merasakan tendangan si kecil di dalam rahim, dan sensasi hamil lainnya. Percaya deh, suatu hari kita akan merindukan moment-moment tersebut.

9. Menentukan klinik/rumah sakit yang sesuai. Dari tempat, kenyamanan ruang bersalin, bahkan tenaga kesehatan yang membantu persalinan.. itu juga akan mempengaruhi kesiapan mental/psikis kita loh. Pastikan tempatnya nyaman dan tenaga kesehatan yang mendampingi juga ramah, royal dan sabar :D 
So, point terakhir ini juga wajib kamu pertimbangkan.

Sekian kisah di balik perjuangan melahirkan anak keduaku beserta tips mudah bersalin dan ikhtiar agar perineum tetap utuh. Tanpa robekan. Tanpa jahitan. Semoga bermanfaat ya.

Semoga yang sedang menanti buah hati Allah permudah dan segerakan. Yang sedang menanti kelahiran ananda, dipermudah semudah-mudahnya, dipercepat prosesnya, diringankan rasa sakitnya, sehat selamat untuk ibu maupun bayinya. Aamiin.

Salam bahagia, dariku Mamak muda beranak dua 😊

______________________

(C) yusniaagussaputri.blogspot.com

Magelang, 26 September 2020

6 Komentar

  1. Duuuuh mba, bacanya ikut berasaaaa mules pas lahiran :D. Aku memang ga lahiran normal, tapi taukah dari cerita adekku, dan temen2 kayak apa rasanya. Ikut ngiluuuu kalo dibayangin.

    Tapi Alhamdulillah lancar dan si baby sehat yaaa. Itu yg paling utama memang. ;)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan cuma ngilu, Mbak. Endeuss ceunah wkwkwk.. tapi aku sendiri nggak berani membayangkan rasanya lahiran saecar. Jadi persalinan normal memang sesuai kapasitas kesanggupanku yang takut sama pisau bedah :'D Alhamdulillah sehat semua ^^9

      Hapus
  2. Tabarakallah Ukhti shalehah... selalu menginspirasi.
    Luuvv you.
    Semoga nanti bisa bertemu secara nyata. Aamiin

    BalasHapus
    Balasan
    1. Masyaa Allah, luvv you to saudariku. Aamiin aamiin insyaa Allah :)

      Hapus
  3. Balasan
    1. Alhamdulillah, seperti kata orang tua. Melahirkan adalah proses alami yang tatkala si bayi lahir, semua kesakitan dan kesulitan sebelumnya seolah sirna seketika :D
      Terima kasih sudah berkunjung..

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)