Tak mudah untuk menyamankan diri tatkala berada di sebuah lingkup tertentu, apalagi dalam jangka waktu panjang. Cepat atau lambat tetap ada gesekan-gesekan yang menimbulkan rasa tak nyaman. Pun, apa jadinya ketika seorang siswa kecewa terhadap gurunya sendiri? Hanya karena orang yang begitu dikagumi, bahkan diam-diam dijadikan role model, pada akhirnya bersikap pilih kasih dan terkesan tidak subjektif.

Sejak kecil, mataku menangkap banyak perlakuan tidak baik. Banyak sekali hal-hal yang aku rekam dari masih kanak-kanak bahkan hingga sedewasa ini. Aku dituntut untuk mencerna banyak hal. Belajar memahami semua yang terjadi dalam hidup. Begitu pula ketika berhadapan dengan orang-orang tertentu. Aku bisa merasakan betul mana hati yang tulus dan mana yang hanya sekedar beramah tamah semata. Lain di depan lain pula di belakang.

Ditinggalkan, ditepis, diabaikan, bahkan dipermasalahkan, bukan suatu hal yang baru untukku. Dari itu semua aku belajar baik, bahwa dunia ini didominasi oleh orang-orang egois kendati mereka tampak begitu baik. Pun pada akhirnya, kau lah yang harus memaklumi perlakuan minus orang lain padamu. Kau yang harus mengerti mengapa mereka berlaku demikian, sampai harus mematut diri di depan cermin, bertanya apa lagi yang salah dan yang ingin mereka permasalahkan?

Ada kalanya, sungguh, dunia ini berisi manusia angkuh yang senang mempermainkan kelemahan orang lain. Jika tak mengalah maka kau takkan beroleh ruang. Seolah-olah memang kau lah makhluk bermasalah di tengah-tengah mereka.

Kemarin sore, aku membaca status whatsapp dari salah satu peserta writing challenge, "orang yang kerap menjadi pendengar justru lebih sering tidak didengar". Sama halnya dengan orang yang mati-matian beradaptasi, belajar, memahami, juga akan menjadi satu-satunya orang yang dipecundangi. Tak ada empati maupun simpati dari orang lain. Sebab kau lah yang harus memainkan peran tersebut, menjadi manusia dengan banyak pemakluman terhadap hal apapun itu.

Kau harus melapangkan hati untuk banyak-banyak memaklumi mengapa orang lain berbuat demikian, lalu kembali merangkul mereka seolah tak terjadi apa-apa. Meski gemuruh di hatimu saja belum reda. Mau bagaimana lagi? Mengalah tak salah sebab katanya bukan berarti kau sungguh kalah. Tetapi sampai di sini, aku lebih baik menarik diri sejenak.

Perlu waktu untuk menata kembali kepercayaan dalam diri pada orang-orang yang tadinya dipercaya betul untuk memegang amanah perihal rahasia yang tak kau bagi bebas pada orang lain. Mereka, sekumpulan kepala itu adalah orang yang tadinya kau percaya sebagai saudara berlandaskan ukhuwah Islamiyah. Tak ada kepalsuan, tak ada topeng, tak perlu berpura-pura, kau hanya perlu menjadi diri sendiri.

Tetapi di antara sepuluh teman baik yang kau miliki, tetap saja ada salah satu di antara mereka yang tak sungguh-sungguh berniat menjadi teman. Mereka mendengar juga bukan karena kepedulian yang begitu tinggi, melainkan rasa penasaran untuk mengetahui lebih perihal duduk permasalahanmu. Hal yang paling membuat jengah, ketika di hadapanmu mereka memberi solusi, kemudian di belakang saling merumpi.

Kecewa. Ketika ruang yang tampak begitu solid tatkala diteropong dari luar, tetapi hanya bangunan ringkih yang didominasi sandiwara orang-orang yang ada di dalamnya. Berhadapan dengan banyak karakter manusia, tak ada yang sungguh-sungguh dapat menjamin keasliannya. Hati manusia juga layaknya kaca, mudah sekali berdebu. Gampang sekali kotor. Dan ketika retak kemudian pecah, tak mudah mengembalikannya ke sedia kala. Kau mungkin bisa berusaha untuk menyatukannya kembali. Tetapi bekas retakan itu akan tetap ada. Lukanya yang tak bisa kau sembuhkan begitu saja.

Tetapi tak apa, tak sekali atau dua kali ini aku merasa orang-orang yang kupercaya ternyata menikam dari belakang. Sudah menjadi hukum alam agaknya, orang yang paling berpotensi untuk membuatmu terluka adalah orang-orang terdekatmu sendiri. Mereka yang kau percayai betul.

Pada akhirnya, aku kembali harus membesarkan hati sendiri. Sebab kita tak bisa mengatur isi hati orang lain. Jadi yang perlu dilakukan adalah memanage isi hati sendiri. Mereka yang dengki selamanya akan tetap punya alasan untuk tidak menyukaimu, tetapi tugasmu, terus saja berbuat baik tanpa pamrih.

Tadinya, iya tadinya.. aku merasa lingkup ini adalah muara paling teduh untuk bernaung dari hiruk pikuk dinamika kehidupan yang tak selalu sesuai harapan. Sayangnya, kepolosan itu menjadi bumerang sendiri bagiku. Aku terlalu cepat percaya. Kendati berulang kali, suami memberiku alarm untuk tak terlalu dekat kepada siapa saja kendati mereka mengaku teman akrab. Sebab kawan pun bisa berubah menjadi lawan.

Benar ternyata.

Lantas, pembelajaran apa yang dipetik dari ketidaknyamanan ini?
Aku hanya ingin belajar melupakan. Belajar memaafkan mereka. Belajar (lagi-lagi) memaklumi orang lain, seolah-olah aku yang harus berkaca lebih untuk kebodohan diri sendiri. Apa boleh buat, membenci orang yang membuatmu terluka takkan merubah apapun menjadi lebih baik. Hanya saja, aku merasa perlu menjadi kian mawas dan menarik diri sejenak dari lingkup-lingkup itu.

Bukan hal biasa, bukan hal baru. Percayalah, aku terlatih menghadapi situasi dengan orang-orang seperti mereka. Cukup tahu, bahwa memang tak ada yang perlu dipercaya betul di dunia ini. Rahasiamu, keluhmu, masalahmu, adukan saja pada-Nya. Dia lebih pantas menjadi satu-satunya pendengar bahkan problem solver untuk tiap kegundahanmu.

Manusia itu hatinya mudah berbolak-balik. Hari ini benci besok bisa jadi memuji. Hari ini cinta besok bisa jadi saling cerca. Tak ada yang pasti. Yang pasti hanya Allah yang lebih layak menjadi pendengarmu, menjadi satu-satunya tempat mengadukan berbagai persoalan hidup dan meminta solusi terbaik.
_________________________

#Day 9
#OneDayOnePost30HRDC
#WritingChallenge30HRDC
#30HariRamadhanDalamCerita
#bianglalahijrah
__________________________

... catatan untuk diri sendiri ...

copyright : @bianglalahijrah
Magelang, 14 Mei 2019
[Image Source : by Google]

0 Komentar