Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." [QS Al-Ahzab 33/:59)

Kadang, sebuah inspirasi atau pun kebaikan datang dari hal-hal kecil yang tampak sepele di sekitar kita. Tetapi tak menutup kemungkinan, bahwa hal sepele itu lah yang dapat mengetuk hati lebih dalam. Karena itu berusaha untuk lebih membuka mata. Memasang telinga. Melembutkan hati agar lebih peka merasa.

Sebuah percakapan cukup panjang bersama seorang teman di Whatsapp malam ini. Tentang hijrah dan menyempurnakan hijab, membuatku ingin menuangnya langsung dalam tulisan.

"Kadang masih merasa canggung. Takutnya hanya dibilang sok shalehah padahal nggak bener-bener shalehah." tulisnya.

Tak sekali dua kali mendengar curhatan serupa. Hampir semua muslimah yang baru mulai berhijrah sepertinya akan melalui fase ini. Tahap di mana orang-orang akan lebih banyak berkomentar negatif ketimbang berkomentar tentang sisi baiknya terlebih dahulu.

Sudah lumrah agaknya, orang-orang lebih mudah melemparkan prasangka dari pada memupuk perkataan baik yang dapat mengukuhkan semangat orang lain yang masih pasang surut menapaki jalan hijrah. Mengapa? Salah satunya karena habbits.

Kebiasaan di masyarakat kita yang sudah mendarah daging. Dari ucapan satu orang, merambah ke mulut-mulut lain, hal yang berulang-ulang lantas menjadi doktrin di kepala mereka begitu saja. Belum lagi ulah oknum-oknum tak bertanggung jawab yang menyertakan Islam di dalamnya hanya sebagai atribut semata, alih-alih berkata jihad fisabilillah. Masyarakat dibuat trauma, hingga yang tak bersalah harus dipukul rata.

"Alah, jangan-jangan hijabnya cuma topeng."
"Buat apa berhijab syar'i kalau kelakuan masih gitu-gitu aja."
"Udahlah nggak usah sok shalehah, mending biasa saja. Yang penting shalat nggak tinggal, bisa ngaji Al-Qur'an, sedekah tetap jalan."

Celetukan seperti ini secuil dari sekian banyak yang lain. Yang lebih pedas dan sadis dari ini? Banyak. Aku sendiri satu dari muslimah yang pernah merasakan bagaimana rasanya dibully saat awal-awal berhijrah dulu.

Jangan kan dibully, dikucilkan keluarga, difitnah, dikira ikut aliran sesat, dan berbagai tuduhan lain juga ikut serta mewarnai perjalanan di awal hijrah. Karena itu, bersyukur jika sampai sekarang bisa kian kebal dengan orang-orang yang masih punya pemikiran seperti ini. Lebih siap mental untuk menghadapi tatapan aneh, kening berkerut, sampai bibir yang mendomble sinis ke arahku. Belum lagi komentarnya..

Jadi dalam hati cukup beristighfar, cukup doakan mereka agar dapat merasakan hidayah yang sama.

Tak ada manusia yang bisa sempurna bak malaikat sesaat setelah menasbihkan dirinya dalam langkah berhijrah. Justru ujian keimanan akan semakin gencar membersamai diri. Bermula dari sekedar niat sampai langkah-langkah yang terayun..

Siapa bilang setelah hijrah langkah akan adem ayem saja. Kita baru akan menapaki anak tangga yang pertama dari 100 anak tangga yang ada. Belum apa-apa, belum seberapa. Maka prasangka orang lain adalah ujian keistiqomahan diri.

Tetapi haruskah menyerah? Mengapa pula harus takut pada prasangka orang lain, jika niat di hati landasannnya adalah Allah. Hanya Lillah.

Terlepas dari apa yang orang lain pikirkan tentangmu, itu urusan mereka. Kamu hanya bertanggung jawab atas apa yang kamu perbuat atau pada pilihan yang kamu tentukan. Urusan kita langsung pada Allah. Allah yang lebih tahu bagaimana kita luar dan dalam. Allah yang lebih berhak menilai sebaik apa kualitas dalam diri..

PR kita adalah memerangi kelemahan dan hawa nafsu sendiri. Mengubah yang buruk menjadi baik. Mengubah jahiliyah menjadi mulia. Mengubah segala apa yang sebelumnya salah agar menjadi benar. Kita belajar sedikit demi sedikit, berproses, bertahap, untuk semakin baik setiap saat.

Ingat, kita menjadi baik bukan untuk mengungguli siapapun. Melainkan untuk menjadi lebih baik dari kita yang dulu. Kita yang sebelumnya. Kita yang tak tahu apa-apa, menjadi mengerti lebih banyak. Kita yang ilmunya miskin papa, kemudian Allah limpahkan kekayaan dalam pemahaman. Tak hanya fasih melainkan faqih.

Kita adalah hamba yang sedang menuju Allah. Tak sempurna, bagaimana mungkin kita bisa mencuri kesempurnaan milik-Nya? Menandingi-Nya pun mustahil. Maka tugas kita adalah berbenah. Terus memperbaiki diri. Termasuk, keputusan berhijab syar'i bukan karena kita sudah baik. Justru karena kita merasa belum baik, hijab tersebut adalah permulaan dalam menyempurnakan taat. Langkah besar untuk menjemput kebaikan yang lain.

Prasangka orang? Selamanya akan tetap ada. Mari kembali pada zaman Nabi, di mana Rasulullah yang diutus oleh Allah sebagai penyeru kebaikan dan kebenaran di muka bumi, tetapi tetap dihujani prasangka buruk. Difitnah dengan keji, dianiaya oleh kaumnya sendiri.

Jauh sebelum kita melewati tahap hijrah ini, Rasulullah telah lebih dulu melaluinya. Barangkali apa yang kita lalui hari ini, belumlah seberapa jika dibandingkan perjuangan Rasulullah.

Malu sudah tentu, siapa lah kita? Hamba yang sebelum berhijrah bahkan telah berkubang dosa. Maka semoga kesulitan dan prasangka yang terarah padamu, tak cukup untuk membuatmu mundur teratur. Sebab niatmu adalah Allah. Landasan tiap langkah yang terayun, orientasinya adalah Allah. Maka rasa sakit itu pun akan dikembalikan pada Allah.

Self reminder dari apapun yang kutulis, ini juga sebagai pengingat bagi diri sendiri.

Setidaknya muslimah, kita tidak menjadi wadah yang bolong. Ada amaliah yang berjalan, tetapi pahalanya mengalir keluar tersebab kewajiban yang belum sempurna ditegakkan. Setidaknya upaya dalam menjaga diri juga menyelamatkan mereka yaitu pandangan lelaki ajnabi yang tak halal dan jelas mengundang dosa.

Setidaknya, kita berusaha untuk terus mendekat. Menyempurnakan kewajiban. Bahkan setelah sempurnanya hijab yang dikenakan. Kita juga tak berhenti di situ. Masih banyak kebaikan yang harus ditunaikan.

Jika usai meniti tarbiyah, maka ada tugas dakwah yang harus diemban pada pundak.

Karena itu kita tak berhenti hanya pada satu kebaikan saja. Melainkan untuk berjuta kebaikan lainnya. Semoga kebaikan yang menghampirimu atau pun yang menghampiriku tak berhenti pada diri sendiri, melainkan sampai pula pada orang lain. Aamiin insyaa Allah.

Barang siapa mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik, dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (Surah An-Nahl 16/:97)

Tulisan ini barangkali belum mencakup keseluruhan makna yang ingin kusampaikan, tetapi setidaknya secuil dari itu telah tersampaikan. Untukmu pun untukku, tetap istiqomah kendati tak mudah. Seperti janji-Nya, bersama kesulitan ada kemudahan.


*******x*******

Terkhusus untuk teman-teman yang Allah hadirkan dan membersamai hijrah ini. Syukran.
Magelang, 6 Oktober 2018
copyright : @bianglalahijrah

0 Komentar