Beberapa hari yang lalu aku sengaja menulis status di Whatsapp mengenai keputusan kami untuk tidak menyekolahkan Aidan sejak dini. Menunggu hingga Aidan berusia cukup untuk langsung belajar di taman kanak-kanak, biar nggak kelamaan di play group kalau harus dimasukkan sekolah dari sekarang sedang usianya pun baru 3,4 tahun. Ada banyak pertimbangan dan alasan tertentu. Ternyata, keputusan kami juga tak serta merta sebuah pilihan yang diambil mentah-mentah. Tetapi ada penjelasan menurut pakar psikolog dalam hal ini, tentang dampak menyekolahkan anak di usia dini.

Tentu saja ini semakin mematangkan keputusan yang diambil. Mengingat salah satu sumber menjelaskan bahwa anak yang bersekolah dini juga harus dilihat dari aspek kebutuhannya. Apakah anak benar-benar butuh mendapatkan stimulus di tempat lain, atau cukup dioptimalkan di rumah bersama kedua orangtuanya juga lingkungan tempat tinggalnya.

Salah satu teman kemudian japri dan ternyata beliau berseberangan dengan kami. Beliau memasukkan anaknya yang baru saja berusia tiga tahun di play group. Mengingat tak sedikit pasangan yang sama-sama bekerja di luar rumah. Jadi mungkin waktu membersamai anak juga tidak sepenuhnya full time atau on time. Hingga ada beberapa kondisi di mana fase tumbuh kembang si anak tetapi orangtuanya barangkali belum bisa membersamai dengan baik sebab terkendala pekerjaan. Maka kembali pada pilihan apa yang moms and dad ambil dalam hal ini.

Dari jauh hari aku sendiri sudah siap mental untuk menghadapi orang-orang yang jelas akan berkomentar tentang keputusan untuk tidak memasukkan Aidan ke play group atau PAUD. Karena kami sendiri merasa bahwa Aidan insyaa Allah mendapat stimulasi yang baik dari orangtuanya. Suami sendiri juga mendampingi dan kerap ambil peran dalam soal mendidik anak, menyisihkan waktu luang untuk membersamai anak begitu pulang dari kantor. Intensnya aku sendiri kerap cemburu, karena waktu yang ia berikan kadang-kadang lebih cenderung ke anak dan istri baru setelahnya.

Tapi setelah membaca buku Screaming-free Parenting, dijelaskan bahwa seorang ahli Psikoterapi, Alix Pirani, mewanti-wanti efek dari ke tidak-hadiran seorang ayah dalam pengasuhan anak. Dalam bukunya, The Absent Father: Crisis and Creativity, Pirani menyebut gejala ini sebagai Phatological Absence (ketidakhadiran patologis) kebanyakan ayah. Yang berakibat buruk terhadap kepribadian anak,  di antaranya :

• Perkembangan keterampilan sosial
• Pemahaman diri
• Sikap terhadap keberhasilan
• Kontrol diri
• Kecakapan
• Tanggung jawab, dan
• Ketergantungan

Terlalu fokusnya para orangtua pada peran "tradisional" ayah (yakni pencari nafkah yang jauh dari peran aktif pengasuhan dan pendidikan anak yang saling mengisi dengan pasangan hidupnya), mengakibatkan adanya peran kunci yang terabaikan. Peran yang tak bisa begitu saja dilimpahkan pada istri, apalagi pembantu rumah tangga maupun baby sitter. Nah, setelah membaca penjelasan ini pikiranku jadi lebih terbuka dan kami juga sering meluangkan waktu untuk berdiskusi. Bersyukur sekali, suami adalah sosok yang selalu hadir sebagai ayah yang baik bagi anaknya. Perasaan cemburu karena merasa suami lebih memperhatikan anak pun berubah menjadi rasa syukur. Ini berkah tentu saja.

Selain itu, aku sendiri yang sehari-hari berkutat 24 jam di rumah tanpa terikat jam kerja di luar rumah, maka tak ada alasan men-subkontrakkan anak ke tangan pihak lain. Aku sendiri yang ambil peran sebagai ibu, pendidik, dan guru homeschooling bagi Aidan. Tantanganku di sini adalah bagaimana bisa terus belajar lebih baik, berbenah, dan menerapkan ilmu yang diketahui.

Untuk itu, kemajuan teknologi saat ini pun menjadi kemudahan tersendiri. Buku-buku parenting, video seputar parenting, artikel parenting yang berseliweran di Internet juga menjadi referensi yang mudah sekali didapatkan. Untukku pribadi, membeli sekaligus membaca buku-buku fisik lebih menguntungkan ketimbang membaca dalam bentuk e-book. Tetapi untuk lebih mudahnya, e-book pun bisa jadi alternatif kalau nggak punya waktu buat ke toko buku. Dan kita tetap bisa akses melalui android kapan saja.

Ini benar-benar terasa setelah punya anak. Mau nggak mau harus siap berbenah terus menerus. Belajar terus menerus untuk menjadi sebaik-baik madrasah pertama bagi anak-anakku sendiri. Jadi kalau di luar sana kemudian ada yang berseberangan, itu nggak masalah. Hak masing-masing orang untuk menjalankan pilihan yang dianggap baik untuk diri sendiri.

Toh, masing-masing kita lah yang tahu persis bagaimana anak kita. Kesulitan apa yang ia hadapi. Kebutuhan apa yang ia butuhkan dalam proses belajar atau tumbuh kembangnya. Kita yang lebih tahu tantangan dan kendala apa yang dihadapi dalam membersamai anak-anak. Untuk ortu yang tidak menyekolahkan anaknya di usia dini tentu ada alasan khusus, begitu pun dengan ortu yang memilih menyekolahkan anaknya di usia dini. Nggak ada yang salah atau pun benar, selama itu sendiri diyakini yang terbaik bagi yang menjalani. Dan yang terpenting dapat dipertanggungjawabkan dengan baik pula.

Untuk komentar orang-orang yang bertolak belakang dengan kita, selamanya akan tetap ada. Kita juga nggak bisa menutup diri dari apa yang orang lain katakan.

Sebab itu, pilihan pertama yang bisa moms and dad lakukan ketika berada di antara dua pilihan antara menyekolahkan dini atau nanti, sebaiknya pikir matang-matang apakah keputusan tersebut sudah yang terbaik untuk anak. Bukan semata-mata demi keuntungan kita pribadi yang mungkin sudah amat sibuk dengan tuntutan pekerjaan, hingga hal itu dirasa sebagai jalan keluar terbaik. Sekalipun menurut kita keputusan itu sudah benar, tetapi tetap kebutuhan dan keinginan anak adalah prioritas utama.

Kadang tak sedikit ortu yang bekerja dan kehilangan moment berharga untuk membersamai anak. Terlebih kalau sampai di rumah kita sendiri sudah lelah. Dan harus berhadapan dengan rongrongan anak-anak yang juga menuntut waktu kita. Barangkali sekolah di usia dini tercetus karena pikiran bahwa hal tersebutlah yang si anak butuhkan. Menimbang ia akan belajar lebih banyak dari guru pendamping, atau ia akan memiliki banyak teman kemudian mampu bersosialisasi. Bisa juga pikiran bahwa hal-hal yang tak sepenuhnya bisa si anak dapatkan di rumah, yang berasal dari kedua orangtuanya, kemudian lingkup sekolah bisa menggantikan itu.


Ada banyak alasan yang jelas. Mungkin saja point-point di atas termasuk salah satunya, mungkin juga tidak sama sekali. Karena kembali lagi pada kondisi apa yang moms and dad hadapi. Setidaknya mendahulukan keinginan dan kebutuhan anak jauh lebih penting dari sekedar menjalankan apa yang menurut kita benar sebagai orangtua.

Seperti yang bunda Elly Risman katakan, pada masa golden age anak yang ia lebih butuhkan adalah kehadiran kedua orangtuanya. Yang ia butuhkan adalah sosok sang ibu. Usia 0-8 tahun adalah masa bermain bagi anak. Jadi yang dibutuhkan lebih ke stimulasi untuk perkembangan empati pada diri si anak, bukan kognitifnya. Anak-anak pada dasarnya bermain tanpa terstruktur, tetapi di sekolah ia kemudian harus mengikuti tata terbit yang berlaku. Permainan atau hal-hal yang lebih terstruktur.

Mengutip penjelasan dari salah satu artikel mengenai ini, berikut penjelasannya :

[Masalah lain yang tengah dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah sistem pendidikan dini yang ada sekarang ini terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (kognitif) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (afektif, empati, dan rasa). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan. Mata pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”).

Padahal, pembentukan karakter harus dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan yang melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.

Pendidikan karakter ini hendaknya dilakukan sejak usia dini, karena usia dini merupakan masa emas perkembangan (golden age) yang keberhasilannya sangat menentukan kualitas anak di masa dewasanya. Montessori menyebutnya dengan periode kepekaan (sensitive period). Penggunaan istilah ini bukan tanpa alasan, mengingat pada masa ini, seluruh aspek perkembangan pada anak usia dini, memang memasuki tahap atau periode yang sangat peka. Artinya, jika tahap ini mampu dioptimalkan dengan memberikan berbagai stimulasi yang produktif, maka perkembangan anak di masa dewasa, juga akan berlangsung secara produktif.]

Menurut Freud kegagalan penanaman kepribadian yang baik di usia dini ini akan membentuk pribadi yang bermasalah di masa dewasanya kelak. Kesuksesan orang tua membimbing anaknya dalam mengatasi konflik kepribadian di usia dini sangat menentukan kesuksesan anak dalam kehidupan sosial di masa dewasanya kelak (Erikson, 1968).

Jadi memang terlepas dari keinginan dan apapun alasan kita untuk menyekolahkan anak di usia dini, harus tetap kita pahami bahwa yang anak butuhkan adalah bermain tanpa harus dituntut untuk mempelajari sesuatu hal secara terstruktur pada tempatnya. Tugas kita sebagai orangtua adalah bagaimana cara mendidik dan menumbuhkan kemampuan empati emosional anak dengan baik di usia golden age-nya.

Kita memfasilitasi, memberi ruang, tanpa menciptakan sekat atau batas-batas tertentu bagi keinginan dan kreativitasnya. Dan seiring berjalannya waktu kemampuan kognitif anak akan tetap berkembang dengan sendirinya tanpa perlu mengurangi jatah bermainnya. Tanpa harus merenggut hak-hak individualisnya sebagai anak. Tanpa harus men-subkontrakkan anak ke pihak lain yang dirasa lebih mumpuni ketimbang diri sendiri sebagai orangtua.

Self reminder dari yang juga disampaikan oleh bunda Elly Risman, jangan renggut masa kanak-kanak dari anakmu, sebab nantinya hanya akan ada orang dewasa yang kekanak-kanakan. Kurang lebih demikian.

Jadi yang bisa dipertimbangkan :

• Pastikan bahwa keputusan untuk menyekolahkan anak di usia dini benar-benar sesuai dengan kebutuhan si anak jika moms and dad termasuk orangtua pekerja yang sibuk. Jika stimulus yang diharapkan didapat dari pendidikan anak usia dini namun bisa dioptimalkan di rumah serta langsung dari kedua orangtuanya, barangkali keputusan menyekolahkan dini bisa jadi alternatif kedua atau ditunda sementara sampai usia anak cukup untuk belajar di sekolah. Karena jika bisa diatasi oleh ayah bundanya mengapa harus disub-kontrakkan ke pihak lain?
• Jangan lengah untuk terus introspeksi diri dan sisipkan waktu terbaik bagi anak kendati sesibuk apapun
• Menyadari kekurangan diri sebagai orangtua dan mau untuk terus belajar sambil berbenah
• Siap mental berarti kita sudah punya jawaban yang bisa dijelaskan pada orang-orang yang memang membutuhkan jawaban kita, jika sewaktu-waktu ada yang bertanya sekalipun berbeda pandangan. Bukan lantas tersinggung atau marah.
• Jadikan akhir pekan atau waktu libur untuk fokus pada keluarga. Ajak serta pasangan dan anak-anak untuk berlibur. Tak harus mahal atau ke tempat-tempat yang mengharuskan budget tebal. Ada banyak sarana dan prasarana yang bisa dinikmati untuk ber-quality time bersama orang-orang tercinta.

Selain itu yang perlu digaris bawahi, pengawasan dan didikan langsung dari kedua orangtua di masa golden age sangat berperan penting pada proses tumbuh kembang si anak. Menjadi orangtua yang baik tidak ada sekolah khusus, bukan juga pilihan, melainkan memang kewajiban. Bersyukurlah jika Allah memberi kita cukup waktu untuk membersamai anak-anak dalam setiap fase dan proses yang ia lalui. Tanpa harus men-subkontrakkan anak ke pihak lain.


Sebaik-baik apapun yang bisa ia dapatkan di luar sana, tak ada yang bisa menandingi kehadiran orangtua dalam kehidupan sehari-hari seorang anak. Tak ada yang lebih berharga dari sosok ibu yang bisa ia peluk kapanpun sang anak mau. Self reminder, barangkali masih banyak kesalahan di sana-sini. Sebab yang menulis pun hanya seorang ibu rumah tangga yang juga tengah berproses menjadi sebaik-baik orangtua.

Aku percaya bahwa setiap orangtua itu hebat. Tetap luar biasa dengan sederet peran yang dilakoni di dalam maupun luar rumah. Pun, setiap orangtua pasti tetap memprioritaskan yang terbaik bagi anak-anaknya walau sesibuk apapun pekerjaan yang mengikat mereka dalam mencari nafkah.

Tetapi sungguh, karier terbaik dan yang paling mulia bagi seorang ibu adalah mendidik anak-anak di rumah. Kembali pada fitrah dan kodratnya sebagai istri sekaligus ibu. Membersamai mereka dalam tiap fase maupun proses. Anak tak butuh ibu yang cantik, ayah yang tampan, karena seperti apapun kita bagi mereka kita tetap orangtuanya. Anak tak memerlukan sosok ibu dengan karier cemerlang luar biasa, sedang hadirnya hanya bisa ia nikmati sekelebat saja di dalam rumah. Anak tak butuh semua pencapaian yang mampu kita capai jika ia sendiri merasa menjadi satu hal yang tersisihkan. Self reminder, i'm talking with my self. Betapa menjadi orangtua adalah proses belajar sepanjang masa dengan dedikasi sepenuh jiwa 😢🙏 Maka semoga Allah memudahkan kita setiap orangtua maupun calon orangtua. Aamiin aamiin allahumma aamiin.


Semoga bermanfaat.. 🙏

Magelang, 27 Agustus 2018
© bianglalahijrah


***

Referensi buku :
• Screaming-free Parenting (Mengasuh Anak dengan Energi dan Emosi Positif) oleh Teguh Iman Perdana
Referensi video :
• Elly Risman : Dampak Pendidikan Usia Dini
Referensi artikel :
• https://id.linkedin.com/pulse/pengembangan-pendidikan-karakter-anak-usia-dini-dalam-maria-lience
Picture by #Pinterest

0 Komentar