"Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha penerima tobat, Maha Penyayang" (QS al- Hujurat:12)

 

Aku menulis ini sebagai refleksi bagi diri sendiri, ada banyak hal yang terjadi tiga bulan belakangan. Pergolakan-pergolakan yang luar biasa, tetapi aku juga melampaui batas besar dari apa yang telah kuperkirakan tadinya. Tentu bukan karena diri yang hebat, melainkan Allah yang memampukan. Hanya saja, aku merasa perlu untuk menulis ini.. agar suatu hari, catatan ini cukup menjadi pengingat buatku.

Dear manusia, dalam lingkup apapun kita saling bersinggungan, dan dengan nama siapapun aku selayaknya memanggilmu..

Bisa kita berhenti saling mengkritik bayangan satu sama lain, tetapi bungkam tatkala saling berhadap-hadapan? Bisa kita menjadi manusia yang berani menyuarakan kebenaran dengan cara yang santun, bukan justru mencari pembenaran untuk menggunjingkan orang lain yang kita anggap salah?

Manusia seringkali mempermasalahkan sesuatu yang bukan menjadi bagian dari dirinya.

Manusia sering menganggap apa yang dilakukan oleh orang lain salah, tetapi bukannya mencari cara bagaimana meluruskan kesalahan itu, ia justru sibuk mencari teman duduk berghibah, dan mulai bergunjing ria.

Bisa kita tidak menjadi manusia yang begitu?

Manusia yang juga mudah berbohong ketika berada di posisi tersudut. Mencari kambing hitam tentang siapa yang salah, alih-alih mengintrospeksi kesalahan dalam dirinya.

Kita berada di fenomena hidup yang tak lazim namun menjadi sesuatu hal yang sangat biasa.

Padahal, kita punya pilihan diam, ketimbang membumbui cerita akan seseorang yang secara kebetulan tak kita sukai, sampai sengaja menyebar fitnah. Apa bangganya?

Padahal, kita juga punya pilihan untuk bicara langsung pada orangnya, ketika menganggap perilakunya keliru, ketimbang mengumpulkan banyak pendengar, dan mulai menyampaikan cerita dalam versi pribadi, yang tanpa sadar ditambah-tambahi.

Kita selalu punya pilihan untuk berlaku sebaliknya. Berpikir lagi 1000 kali, manfaat apa yang diperoleh dengan berbuat hal demikian?

Apa sulitnya, jika tak suka.. bilang saja langsung di depan orang yang bersangkutan. Ketika ada hal yang salah, mengapa tak sampaikan langsung ke orangnya? Memilih untuk menjelek-jelekkan orang itu di belakang, tak ada manfaat apapun yang didapat, kecuali mudharat.

Kita punya banyak sekali pilihan baik, ketika condong pada perkara yang buruk.

Kita memilih untuk salah paham, ketimbang meluruskan pemahaman.

Mengapa kita demikian? Mengapa kita tak saling mencari cara untuk berdamai, ketimbang langkah untuk bertikai?

Sebenarnya, orang lain yang bermasalah atau justru hati kita sendirilah yang bermasalah?

Dear manusia, yang ingin kumanusiakan setelah terlebih dulu memanusiakan diriku sendiri.

Hari ini, aku melerai satu permasalahan yang sebenarnya sekian tahun berasal dari orang yang sama. Hanya saja, Allah membukakan tabir itu sekarang. Aku sempat bertanya-tanya, siapa orang yang dengan sengaja mengadu domba agar tak hanya orangtua yang salah paham, melainkan pula orang-orang yang sebenarnya sama sekali tak memiliki kepentingan denganku. Bahkan tak ada masalah sama sekali.

Betapa, kita memang tak pernah bisa menyenangkan hati manusia. Tetapi tak habis pikir dengan pembenci yang membentuk komuni untuk menyalurkan hasrat benci.

Parahnya lagi, tak peduli kita senantiasa berbuat baik padanya, tak pernah menyikut kehidupan orang lain terkait privasinya, apalagi dengan sengaja mencari masalah.. nyatanya masih saja ada pihak yang tak senang. Masih saja ada pihak yang sengaja mengorek-ngorek kesalahan, atau sesuatu yang bisa ia permasalahkan, untuk kemudian dijadikan bahan bakar mengadu domba.

Tapi setelah kupikir-pikir, aku tak harus mengotori tangan sendiri untuk membalas perbuatan serupa.

Aku memilih diam seperti apa yang kulakukan selama ini, toh aku tak mengerja kejelekan.. seburuk apa yang mereka gembar-gemborkan. Selama tak merugikan siapapun, selama tak dengan sengaja menyakiti orang lain, aku memilih diam sampai waktu yang tepat untuk bicara. 

Diam dari pada berbicara tetapi menumbuhkan kedengkian lebih mendalam pada hati orang-orang yang hasad. Diam, menjaga interaksi seperlunya, dari pada kelewat baik tetapi disalah-artikan oleh orang-orang yang teko di dalam dirinya bahkan tak dipenuhi oleh cinta.

Kalau dipikir-pikir, bagaimana mereka bisa bersahaja dengan tulus ke orang lain, bagaimana mereka bisa berbuat baik dengan tanpa tipu muslihat apapun, jika di dalam diri mereka sendiri menyimpan banyak sekali kebohongan, sekaligus kepalsuan. Mereka memiliki banyak kekecewaan, banyak kemarahan, banyak penolakan, bahkan terhadap diri mereka sendiri.

Demi bisa bertahan, mereka memperalat orang lain untuk menunjukkan superioritas diri mereka dengan menekan yang lemah. Apa bangganya? Jika di waktu bersamaan, mereka hanya sedang menutupi kekurangan diri sendiri, sayangnya dengan cara yang salah.

Aku lega, aku melepas ego dengan mengalah bukan sepenuhnya kalah. Aku tak salah dalam hal ini, aku yang dipermasalahkan oleh orang-orang yang sengaja mencari celah burukku dari apa yang biasa kutulis. 

Kita memang tak pernah bisa menyenangkan semua orang, bukan? Kita tak bisa memaksa atau bahkan meminta orang lain untuk sepakat pada apa yang kita lakukan, rasakan, maupun katakan.

Mereka tak paham, tetapi memilih salah paham.

Ada banyak cara untuk mengurai kesedihan, perasaan tertekan, kesulitan-kesulitan yang dialami, dan masing-masing kita akan berbeda. Tapi tak ada yang salah dengan itu, semuanya valid tergantung dari perspektif mana yang dipunya. Kecuali, jika kita memang tak menyukai seseorang untuk menjadikan itu sebagai jalan menjatuhkannya.

Kita tak bisa menyalahkan pilihan orang lain hanya karena titik nyamannya demikian, bukan? Misalnya aku yang lebih senang menulis, karena memang pekerjaanku adalah menulis. Tetapi aku masih mematut batasan-batasan tertentu, kendati batasan itu tak selalu diterima oleh orang lain yang kebetulan berseberangan denganku.

Hanya saja, jika pun tak suka, mengapa tak sederhanakan saja ketidaksukaanmu itu? Ada pilihan untuk tidak sama sekali mengikuti apapun terkait diriku di kehidupan nyata maupun sosial media. Sesederhana itu. Jika tak suka, silakan. Tetapi jangan mengajak serta orang lain untuk salah paham terhadapku.

Dear manusia, aku di matamu mungkin saja salah, tetapi caramu juga tak bisa dibenarkan.

Apalagi kita semua pada dasarnya juga kerap melakukan hal yang sama, tetapi merasa bahwa hanya orang lain yang lebih layak dikritik. Kita tak suka seseorang mengeluhkan permasalahannya, padahal kita sendiri juga melakukan hal yang demikian. Sayangnya, orang-orang yang merasa dirinya lebih aman dari pada orang lain, selalu lupa berkaca diri. Itu mengapa, kehidupan orang lain lah yang selalu mudah untuk tersorot olehnya. Jika kebetulan tak berkenan di hatinya, ia membangun asumsi sendiri untuk menggiring orang lain menyepakati ucapannya. Bahwa orang yang tak disukainya selayaknya tak disukai pula oleh orang lain.

Dear manusia (kamu), semoga hatimu masih di situ ya.

Parahnya, orang-orang sepertimu yang tak senang pada kelebihan orang lain.. kerap mengajak orang-orang yang sebenarnya tak ada urusan, untuk ikut-ikut mempermasalahkan. Tadinya aku memilih diam untuk waktu yang lama, karena kupikir cara terbaik menghadapi si pemfitnah sekaligus si pengadu domba adalah dengan mendiamkannya. Tetapi ternyata, orang-orang seperti mereka justru pongah di atas kesakitan orang lain.

Dan, hari ini.. aku memutuskan untuk tidak menjadi seperti kalian.

Aku merasa lega. Di titik ini, aku juga menurunkan ego. Diam tadinya memang cara yang benar untuk menghadapi orang-orang yang sebenarnya perlu dikasihani, hanya saja aku larut. Aku menjauhkan diri sebisa mungkin. Pada akhirnya aku sadar, jika aku meneruskan drama ini, apa bedanya aku dengan kalian?

Hari ini, aku memutuskan untuk menghampiri salah satu di antara manusia-manusia ini. Menyampaikan kebenaran, apa adanya, meminta mereka untuk mulai jujur sebagaimana aku sendiri, meski memang kita tak bisa memaksa orang lain berlaku hal yang sama.

Tapi ternyata, ketika seseorang berada dalam kondisi di mana dia merasa terancam atau tersudutkan.. orang-orang seperti mereka tak jarang berbicara cepat, sengaja memotong pembicaraan lawan bicaranya, intonasi yang kadang jelas kadang samar, berbolak-balik dari A-z atau Z-a, ujung-ujungnya mencari kambing hitam.

Aku, di titik ini.. cukup tahu. Mana orang-orang yang selayaknya diperlakukan dengan baik, mana orang-orang yang cukup sebatas tahu tanpa harus diakrabi kembali. Setelah ini, tak akan lagi sama. Setidaknya, aku tak menebar kebencian lewat cara apapun jika pun ingin, sudah sejak lama. Jika mereka masih mau melanjutkan aksi, silakan, tak masalah. 

Toh setiap kita akan menerima balasan sesuai apa yang diperbuat. Baik akan membuahkan hal baik. Buruk juga akan mendatangkan keburukan.

Sejauh ini, aku belajar banyak hal. Meski terasa sakit sekali tatkala bersinggungan dengan orang-orang yang sengaja menusuk dari belakang. Tetapi bagaimana Allah membuka semua ini, aku bersyukur atas itu. Ini menjadi bahan introspeksi bagi diriku pribadi, juga untuk lebih mawas diri.

Faktanya, bahkan orang-orang yang kita perlakukan baik. Orang-orang yang kita anggap saudara sekalipun, jika sudah berkaitan dengan penyakit hati, kedengkian, hasad, maka tak ada lagi yang namanya tulus tanpa modus. Bagi orang-orang yang hatinya memiliki sedikit cinta bahkan bagi dirinya sendiri, pertemanan mereka begitu palsu dan memiliki banyak topeng. Kita sulit membedakan mana depan, dan mana yang belakang.

Betapa orang-orang seperti merekalah yang semestinya dikasihani. Jika saja, teko cinta di dalam diri mereka sendiri utuh, penuh, mereka tak memiliki waktu barang sedetikpun untuk menyebarkan kebencian. Mereka tak punya waktu luang untuk mengorek kejelekan orang lain, mereka akan sibuk untuk menjadi manusia yang lebih banyak menyemai ketulusan bukan justru kebencian.

Sayangnya, orang-orang seperti mereka mudah sekali memanipulasi keberadaannya di sekitar orang-orang. Di ujung bibir mereka, manusia lain yang bahkan tak memiliki kepentingan digiring untuk berasumsi dan berprasangka buruk atas diri seseorang yang tak benar-benar dia ketahui kebenarannya.

Aku berlindung pada Allah, dari keburukan lisan dan perbuatan orang-orang yang ada di sekitarku, begitupun sebaliknya. Aku memohon perlindungan dari kejahatan makhluk-makhluk yang melampaui batas, aamiin biidznillah.

Untuk mereka yang menggiring opini, semoga Allah hentak sekali saja untuk membuatnya sadar.. aku tak perlu capek-capek membalas perbuatan keji dari hati yang dengki.

Cukup diam, amati, doakan, biar Allah yang menentukan balasan seperti apa yang layak bagi mereka.

Diam, jika bicara saja bahkan tak akan bermakna apapun bagi mereka.

Diam, jika itu lebih bisa menyelamatkan lisanku dari pertanggung jawaban berat yang kelak akan dimintai di hadapan-Nya.

Diam, ketika berhadapan dengan manusia-manusia yang menghalalkan cara untuk menjatuhkan orang lain. 

Diam, ketika tahu bahwa membalas tak mendatangkan kebaikan apa-apa.

Diam dan doakan, bagaimana mereka akan terjatuh sendiri oleh perkataan mereka. Sebab ketika kelewat batas, setiap kita perlu tersandung untuk bisa tersadar kembali. Dan itu kembali pada hak prerogatif Allah untuk menetapkan balasan apa yang sesuai.

Al jazaa min jinsil ‘amal (balasan sejenis dengan perbuatan)

وَلَا تَحْسَبَنَّ اللَّهَ غَافِلًا عَمَّا يَعْمَلُ الظَّالِمُونَ

“ Dan janganlah sekali-kali engkau mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim...”  (QS. Ibrahim 42)

Betapa kita toh selalunya akan diuji oleh perkataan sendiri. Di titik ini, aku enggan berargumentasi pada orang-orang yang tak layak mendapatkan itu. Hanya menguras energi percuma.

Diam, diam, tetapi doakan. Selebihnya, itu menjadi urusan Allah.

Karma itu sunnatullah, sebuah akibat dari sebab yang kita perbuat sendiri. 

Di masa ini, semoga aku sendiri terus memperbaiki diri menjadi lebih baik lagi.

Diam, diam, terus saja langitkan doa.

Allah yang akan membukakan hati-hati yang tertutup.

Semoga Allah semai rasa kasih sayang pada mereka yang bahkan tak memiliki cukup cinta untuk dibagi.

Allah hapus kebencian, pada mereka yang terlalu keruh mengingat kebaikan orang lain.

Diam, diam, dan doakan. Biar Allah saja yang membalas mereka.


Apa yang kutulis di sini seperti terlengkapi oleh postingan bunda Dian Noviyanti yang secara kebetulan lewat di beranda Facebook-ku malam ini, beliau penulis sekaligus mentor parenting:


Jika ada orang yang berprasangka buruk pada kita; mungkin mencibir, mencemooh, meremehkan, kasak-kusuk di belakang dan sejenisnya, siapa sesungguhnya yang sedang dalam masalah?

Kita sudah tahu jawabannya.

Yang menarik, meski tahu pasti bahwa orang itu  yang bermasalah dengan hatinya, tetap saja kita yang remuk redam.

Setidaknya jadi uring-uringan akibat terpukul oleh tuduhan tersebut.

Respon kita akan menentukan apakah kita memang seperti yang mereka tuduhkan?

Jika iya, alhamdulillah. 

Ada yang mengingatkan untuk istighfar.

Ada pendorong agar kita semangat muhasabah diri; memohon pada Allah agar berkenan mengubah diri kita menjadi lebih baik. Sesuai yang Dia kehendaki.

Jika kita tidak seperti yang dituduhkan, inilah kesempatan untuk melakukan klarifikasi.

Jika tidak bisa menjangkau orang tersebut, minta bantuan orang lain untuk memediasi.

Terbuka kesempatan silaturahmi.

Orang tadi mungkin tidak berubah sesuai maunya kita. Penyakit hati sulit disembuhkan. Dan bukan tugas kita untuk menyembuhkannya.

Kita hanya melakukan hak kita untuk klarifikasi. 

Selebihnya adalah wilayah Tuhan.

Toh, omongan culas seperti itu biasanya tidak akan tahan lama. Paling lama setahun atau dua tahun saja. Jika kita orang yang lurus dan menebar manfaat, omongan culas tak akan mendapat tempat.

Lihat saja para seleb yang dulu dituduh buruk, pada akhirnya tuduhan itu akan reda dengan sendirinya, ketika melihat perubahan perilakunya hari ini.

Nasihat Guru saya: keimanan seseorang terlihat pada 'pukulan' pertama. 

Maksudnya: reaksi pertama ketika mendapat ujian musibah (hal yang tidak menyenangkan), menunjukkan kualitas iman seseorang.

Silakan cek ke dalam diri; apa yang langsung menyeruak dari hati. Kesalkah? Marahkah? Tersinggungkah? Terpurukkah? Berkeluh-kesah? Ingat Allah kah?

Bisa jadi Allah tegur diri kita melalui hal-hal tidak mengenakkan tersebut, untuk mengingatkan betapa kurangnya istighfar kita, betapa minimnya waktu yang kita luangkan untuk berlama-lama dalam sujud dan duduk bermohon kepada-Nya.

Tidak ada suatu kejadian yang sia-sia, tidak pula kebetulan.

Semua sudah ada dalam pengaturan-Nya yang terencana dan presisi.

Tugas kita hanya memohon: ya Allah, apa yang Kau kehendaki atas kejadian yang menimpa diriku saat ini? Tolong aku memahami petunjuk-Mu dalam bahasa yang aku mengerti.

Dan,

Biarkan takdir mengalir untuk mensucikanmu.


Masyaa Allah, aamiin allahumma aamiin. Tak ada gunanya melawan api dengan api. 

Pertama kali membaca ini yang terpikirkan, kok related sekali ya? Sama persis dengan yang dialami sore tadi. Ketika aku memberanikan diri mendatangi orang-orang tersebut, berniatkan silaturahmi sekaligus klarifikasi, kendati diantaranya seperti terkesan masih berdalih. Tetapi terpenting aku sudah menyampaikan inti dari yang ingin ditegaskan, jika seterusnya diam.. rasa-rasanya hanya membesarkan prasangka yang ada tanpa ujung penyelesaian.

Setelah melakukan itu pun, aku insyaa Allah sudah melakukan hal yang benar. Jika setelah ini akan tetap lebih banyak diam, menjaga interaksi seperlunya, paling tidak mereka sudah memahami sebabnya.

Barangkali, hikmah di balik ini supaya bisa lebih mawas diri lagi. Tetap bersikap baik, bahkan kepada mereka yang sengaja berbuat buruk, karena perkara balasan.. Allah lebih tahu ganjaran apa yang pantas atas perbuatan mereka.

Ini titik di mana aku juga membuat batasan, aku tak berniat untuk membalas api dengan api. Untuk apa? Manfaatnya apa? Tak ada sama sekali, kecuali menimbun dosa jariyah setiap kali.

Dan memang, seterusnya kita sebagai manusia akan sulit mendapatkan ridhonya manusia. Mau kita baik seperti apapun, mau kita tulus bagaimanapun, jika lawannya sudah berpenyakit hati, mustahil untuk membuat mereka berlaku sebagaimana kita memperlakukannya dengan baik. Kadang memang, ada orang-orang yang begitu lihai mempermainkan perannya dalam lakon kehidupan, sebagai pesandiwara. 

Aku berdoa, diam, berdoa lagi, sebab hanya Allah yang dapat membolak-balikkan hati.

Paling tidak, aku menang atas diriku sendiri hari ini. Aku berbeda dengan mereka, untuk tidak menjadi pengecut yang berlindung dari banyak muslihat hanya untuk menjatuhkan orang lain yang bahkan selama ini bersikap baik terhadapnya.

Jika kita tak paham arti balas budi, minimal jangan butakan hati dengan penyakit dengki.


"Wahai orang- orang yang beriman dengan lisannya, tapi keimanannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat seorang Muslim dan jangan pula mencari-cari kesalahannya. Sebab siapa saja yang mencari-cari kesalahan orang lain, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Maka siapa saja yang Allah telah mencari-cari kesalahannya, Allah tetap akan menampakkan kesalahannya meskipun ia ada di dalam rumahnya." (HR Abu Dawud)


Kukembalikan pada diri sendiri, sebagai pengingat. Teruntuk diriku, teruslah bertumbuh, jadi lebih baik lagi ya. Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.

__________________________________


Magelang, 26 Agustus 2021

copyright : www.bianglalahijrah.com 

1 Komentar

  1. Untuk banyak hal, aku juga lebih memilih diam mba, drpd cari ribut. Basically aku memang ga pernah suka terlibat konflik apapun.

    Tapi kalo orang tsb sudah sangat toxic, aku biasanya memilih block ATO putusin segala macam hubungan di medsos dan manapun. Kesannya kayak pengecut, ga bisa trima perbedaan dll. Tapi buatku itu masih lebih bagus drpd ttp punya hubungan, cuma ga prnh bisa baik. Buat apa.

    Aku bisa bayangin banget, org yg mbak maksud saat dikonfrontasi langsung heboh bicara cepet, cari pembenaran, motong bicara lawan dll :p. Ciri2 yang sudah terpojok dan malu sbnrnya :p.

    BalasHapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)