04-12-2011, Minggu
Diary Untuk Ayah dan Ibuku

Selama ini aku sudah menyembunyikan apa yang telah aku alami. Tapi apa aku bisa terus menerus berpura-pura untuk menyembunyikan sakitku? Apa aku harus tetap berusaha tersenyum di hadapan semua orang, sementara hatiku menangis? Mengapa ini semua harus aku yang mengalaminya? Tuhan adilkah ini? Setelah semuanya kau renggut dariku. Kebahagiaan pada keluargaku, hidupku, masa depanku. Kini kau berikan aku penyakit yang sebentar lagi akan merenggut nyawa dan hidupku. Saat ini mungkin belum ada yang tahu pasti. Tapi aku tidak yakin ini semua akan terus dapat tertutupi dari mereka. Terutama keluarga dan orangtuaku. Tuhan, hari ini aku kembali bersimpuh sujud di hadapan-Mu. Berharap akan ada jawaban dari-Mu. Mengapa Engkau memberiku hidup yang seperti ini? Apa aku tidak berhak untuk merasakan bahagia itu? Pertanyaan demi pertanyaan terus bergelayut di benakku. Bahkan mukena ini kerap basah oleh tangisku.
***
Kini tepat setahun aku menyembunyikan sakitku. Entah sampai kapan? Bahkan yang lebih menyakitkan lagi aku harus menjalani ini semua, sementara aku berada jauh dari mereka. Orang-orang yang aku sayangi. Mengapa semua ini harus terjadi padaku? Mengapa Tuhan? Aku sadar hidupku hanya tinggal beberapa saat lagi. Entah sampai kapan aku akan bisa bertahan dalam sakit dan kesendirian ini. Apa aku juga akan menghadap-Mu dalam keadaan sendiri? Ibu, ayah, maafkan aku. Bukan maksudku untuk menyembunyikan ini semua dari kalian. Tapi kelak, biarkan isi diari ini yang akan menjelaskan semuanya pada kalian. Betapa aku sangat mencintai kalian. 

Aku tidak ingin kalian bersusah payah mengurusku. Karena kata dokter aku tidak akan bisa bertahan lebih lama lagi. Penyakit ini telah mengambil semua kemampuan yang aku miliki. Mungkin untuk menyeimbangkan gerak tubuhku saja aku tidak mampu. Sedikit demi sedikit ingatanku akan hilang, kemampuanku berbicara juga akan hilang, aku juga tidak bisa lagi menggerakkan bagian dari tubuhku, untuk menggapai, bahkan untuk berjalan saja semua akan terasa sulit. Semua akan sulit untuk aku lakukan. Apa kalian tahu dalam kesendirian aku menyimpan banyak rasa rindu? Tapi untuk menggenggam dan berbicara kepada kalian meski hanya melalui seluler, aku tidak mampu. Aku sedih. Aku tidak ingin kalian tahu. Bahwa aku sangat tersiksa di sini. 

Selama ini, yang kalian tahu bahwa keadaanku baik-baik saja, dan tengah menuntaskan pendidikanku di bangku sekolah tinggi. Aku berusaha sendiri di sini. Saat di hadapan teman-temanku dan juga semua orang, aku berpura-pura kuat seolah tidak terjadi apa-apa padaku. Dan ketika aku kembali ke rumah, di dalam kamar yang penuh dengan ceceran botol-botol obat yang aku konsumsi untuk mengurangi rasa sakitku, meski itu tidak menjamin hidupku akan bertahan. Aku menangis sendiri dalam kesendirian. Bahkan sahabatku sendiri tidak tahu bahwa aku menderita penyakit Spinocerebellar Degeneration.

Ya, itulah nama penyakit yang telah merenggut semua mimpi dan cita-citaku.

Sebuah penyakit syaraf tanpa obat yang tidak dapat disembuhkan. Penderitanya akan mengalami penurunan kemampuan syaraf, mulai dari kelumpuhan sampai kehilangan kemampuan menulis dan berbicara. Lebih parah lagi, kemampuan menelan makanan pun akan hilang perlahan-lahan, sehingga penderitanya mutlak tinggal menunggu ajal.”

Mungkin ini yang saat ini sedang aku alami. Hanya tinggal menunggu waktuku. Aku rapuh. Rasanya sudah tidak ada gunanya lagi untuk terus melanjutkan pendidikan di bangku kuliah yang cepat atau lambat akan tetap aku tinggalkan. Aku takut untuk bisa berkumpul bersama teman-teman dan sahabatku seperti dulu. Aku takut mereka tahu yang sebenarnya. Sering darah merembes dari hidungku tanpa sadar. Seminggu yang lalu aku baru kembali dari dokter spesialis yang menangani sakitku selama ini. Aku menggunakan uang tabunganku untuk membiayai sakitku. Agar kalian tidak tahu. 
***

Hari ini aku memutuskan untuk keluar dari Universitas yang selama ini menjadi kebanggaanku. Bahkan juga kebanggaan untuk kalian karena aku berhasil masuk ke Universitas ini dengan baik. Padahal tidak mudah melewati uji tes untuk bisa memasuki perguruan tinggi ini. Aku yang dulu berharap kecerahan masa depanku berawal dari tempat ini. Tapi kali ini aku hanya bisa memandangnya dari luar dengan tersenyum bangga meski getir. Setidaknya aku sudah pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi salah satu  mahasisiwi di Universitas ini.

Aku terus melangkahkan kakiku dengan berat. Semakin berat rasanya. Di saat tanpa sadar penyakit itu benar benar telah menggerogoti dan menyerang sistem syarafku. Kepalaku mulai terasa sakit. Semua tidak jelas di mataku. Pandanganku semakin lama kian kabur. Tubuhku terjatuh dengan ringan di jalan aspal gerbang kampusku. Aku tidak sadar. Pikiranku melayang entah ke mana. Semuanya gelap. Yang kudengar hanya suara orang-orang yang memanggil namaku samar-samar kemudian menghilang secara perlahan.

Di saat aku terbangun, aku sedang berada di sebuah tempat yang asing bagiku. Aku mencoba menggerakkan tanganku. Sulit rasanya. Aku menangis. Mengingat kembali kejadian sebelum aku dibawa di rumah sakit ini. Aku sedang tidak sadarkan diri setelah pingsan di gerbang kampus. Sahabatku Rini yang saat itu sedang menungguiku di rumah sakit, berada di sampingku dengan terus menangis melihat kondisiku yang semakin melemah. Aku terus menangis tanpa tahu harus berkata apa padanya. Keadaan hening. Beberapa dosen beserta sahabatku, teman-temanku, yang cukup aku kenal. Ada dan berada di sisi kanan kiri tempat tidurku. Mereka tersenyum berusaha menghiburku. Kini semuanya benar-benar tidak dapat aku sembunyikan lagi. Mereka tahu apa yang aku alami. Lebih tepatnya penyakit yang aku derita.

Bahkan orangtuaku juga telah mengetahuinya setelah mendapat telepon dari salah satu dosen yang ada di kampusku. Aku tidak tahu bagaimana hancurnya perasaan mereka setelah mengetahui keadaanku, yang selama ini aku tutup-tutupi dari mereka. Kepalaku kembali terasa sakit. Berputar-putar. Semua kembali gelap. Yang terdengar hanya suara isak tangis di antara semua sahabat juga dosen yang perlahan makin lenyap dari pendengaranku.
***


0 Komentar