"Lekas membaik ya hati dan pikiran. Semua orang pasti punya luka masing-masing, tak terkecuali"

Ketika membacanya pertama kali, seharusnya aku merasa biasa saja. Karena toh, memang demikian adanya. Tetapi di saat seperti sekarang, kalimat terakhir menimbulkan rasa tidak nyaman. Itu adalah sebagian dari penggalan chat yang salah seorang teman kirim padaku, setelah lebih dulu berbasa-basi.

Kemudian di lain kesempatan, ada kenalan yang ikut berkomentar, "Semua orang punya ceritanya masing-masing."

Dua pesan di atas memiliki maksud yang sama, bukan?

Tetapi untuk membacanya di saat-saat seperti ini, aku seperti merasa bahwa tak semua orang sungguh-sungguh ingin menunjukkan empati pada apa yang kubagi. 

Seolah-olah, ketika aku membagikan kisahku.. itu berarti sepenuhnya tentangku, dan tak ada yang lebih menyakitkan dari itu, sekalipun apa yang dialami oleh orang lain. Padahal, ketika aku pada akhirnya berani speak up.. itu bukan berarti sedang berbangga diri menunjukkan betapa tidak idealnya aku sebagai manusia. 

Bukan juga untuk memperlihatkan, betapa aku tak ubahnya manusia dengan banyak luka di perjalanan hidupnya. Aku tak sedang membanggakan itu.

Hanya saja, dengan berani bicara.. berani terbuka, dan mulai jujur apa adanya. Dimulai dengan mengakui kekurangan yang dimiliki, aku merasa jauh lebih siap untuk berproses menuju titik pulih dan sepenuhnya mencintai diri sendiri.

Aku tahu kok, bahwa setiap orang jelas memiliki kisahnya sendiri.

Aku juga tahu, bahwa kesakitan yang kurasakan terlalu.. barangkali bukan apa-apa bagi sebagian orang yang pernah mengalami hal terkelam, dan lebih dari itu.

Aku tak sedang membuat perbandingan, siapa yang lebih sakit dari siapa. Penderitaan mana yang melebihi penderitaan orang lain.

Bahkan di titik ini, aku juga tak pernah menganggap bahwa hanya aku yang struggle dengan permasalahan hidup sedemikian. Aku juga tak pernah berpikir untuk menganggap pengalaman, kesedihan, atau pun perjalanan hidup orang lain sebagai sesuatu yang remeh dan bukan apa-apa dibanding kisah yang kumiliki. Sama sekali tak pernah.

Ada banyak sekali orang yang bercerita, dan aku memposisikan diri sebagai pendengar mereka.

Ada banyak juga yang meminta pertolongan, masukan, saran, sekedar untuk dikuatkan.. dan aku menjadi penyimak mereka. Berusaha menghadirkan diri di sana, mengetik banyak paragraf untuk benar-benar mengisi relung mereka.

Tak sedikit teman yang menodongku dengan ucapan, " .. kamu beruntung, tak sepertiku" padahal dia bahkan tak pernah meluangkan waktu untuk bertanya balik "bagaimana denganmu? apa kisahmu? seperti apa lukamu?" 

Mereka lupa bertanya apa aku juga butuh teman cerita? Atau sekedar mendengar segelintir pengalaman tak beruntung dari sudut pandangku, sejauh apa yang telah kulalui selama ini.

Aku sungguh memposisikan diri sebagai pendengar, bahkan ketika aku sendiri sangat butuh didengar.

Menyimak banyak kisah, ketika kisahku sendiri tak beroleh peluang untuk menyuarakan rasa sakit sekaligus harapan yang tersisa padanya.. demi terus hidup, kendati dalam mode 'bertahan'.

Mengapa? Kenapa aku mau?

Karena aku tahu persis bagaimana rasanya tak didengar, diabaikan, tak dipedulikan, bahkan ketika kebanyakan orang sengaja berpura-pura tak tahu. Sejak kecil aku tumbuh dengan luka-luka itu, bahkan di lingkup yang seharusnya aku beroleh banyak dukungan beserta cinta.

Jadi itu tak masalah. Aku sudah memberikan banyak kaset untuk merekam apa yang selama ini kudengar. Sekali ini saja, aku ingin kisahku juga memperoleh ruang untuk bersuara. Kembali menjadi manusia yang juga butuh dimanusiakan. 

Tak ada yang menghendaki keadaan 'tak baik-baik' saja. Tak ada yang ingin melalui pengalaman hidup tak menyenangkan hanya untuk bisa bercerita di kemudian hari, betapa diri juga sudah berjuang sekuat yang dibisa. Bukan itu tujuannya.

Siapa sih yang mau menjalani perjalanan hidup tak mudah? Apalagi harus memeluk banyak luka, dan sekuat jiwa struggle dengan rasa trauma ketika berbenturan dengan pemicunya? Tak ada yang mau.

Semua orang mendambakan hidup bahagia, sukses, kaya, berjaya, meski dalam tolok ukur yang berbeda. Tetapi realitanya? Kita hanya manusia biasa, yang dipenuhi dengan berbagai ketidak-idealan. 

Aku paham sekali. Setiap orang berjalan dengan koper kisahnya, menenteng itu ke mana-mana. Tak mengizinkan orang lain berkesempatan menyentuhnya.

Aku mengerti jika tak semua orang siap menyibak luka yang selama ini sekuat hati ia pendam di kedalaman batinnya.

Hanya karena aku siap membagikan kisahku, aku tak sedang merasa bahwa akulah pemeran utamanya. Yang lebih kuat, hebat, tangguh, dan orang lain belum apa-apa. 

Tidak, sama sekali tidak. Sekalipun tak pernah terlintas pemikiran yang demikian.

Bahkan ketika aku berani membuka suara, itu juga belum keseluruhan dari apa yang mungkin bisa orang lain ketahui. Ada koper tua di dalam sana, ia bergembok, bahkan aku sendiri tak siap membukanya. Bagaimana bisa orang lain merasa tahu, dan menganggap ini sudah lebih dari cukup?

Ada yang tetap kugembok dalam rahasia batin sendiri. Sebab seperti itulah cara Allah menutupi ketidak-idealan diriku, dan membuatku mampu berjalan hingga di titik ini.

Jadi, orang-orang tak perlu memberiku pemahaman bahwa setiap orang jelas memiliki lukanya masing-masing. Aku sangat paham akan itu.

Hanya saja di kondisi seperti saat ini, rasa-rasanya cukup dengan mendengar kalimat ".. Iya, kamu sudah berjuang baik kok. Seperti halnya mereka yang juga bertahan dengan struggle masing-masing. Tetap kuat ya, tetap semangat!" mungkin perkataan macam ini akan jauh lebih bisa kucerna dengan penerimaan tanpa perlu denial. Sepenuhnya bisa kuterima dengan hati, tanpa harus membenahi prasangka sendiri setelah itu.

Aku melewati perjalanan hidup tak mudah dengan sepaket kisah jatuh bangunnya. Aku masih struggle dengan itu semua. Barangkali, menceritakan secebis dari pengalaman itu dapat membuatku lebih bisa menerima diri seutuhnya. Bahwa sebagai manusia, ada hal-hal yang selalu akan berjalan di luar kendaliku.

Ada takdir yang harus terus dijalani, tanpa pernah bisa kembali, dan memilih takdir mana yang lebih baik untuk dilakoni.

Ada iradah Allah yang berperan dari setiap jengkal perjalanan itu.

Ada hal-hal yang bahkan tak bisa kutunjuk sebagai bagian baik dari apa yang kuimpikan. Semisal keluarga, orangtua, dan di lingkungan mana sebaiknya aku lahir kemudian bertumbuh.

Ya, aku tak bisa kembali ke belakang sana.

Tak bisa membuat kompromi atas naskah hidup macam apa yang harus kuterima.

Aku yakin, setiap orang yang merasa dirinya tak beruntung.. juga mati-matian berproses untuk sepenuhnya bisa menerima, dan sampai pada pemahaman yang sama. Tak ada yang perlu dirubah dari sekelumit perjalanan kelam itu, jika dengannya, kita bisa bertumbuh dari luka untuk menjadi pribadi yang lebih luar biasa.

Selalu ada kesempatan untuk memperbaiki diri, bukan? Selalu ada kesempatan untuk mencoba lagi, bukan? 

Iya, setiap orang membawa koper kisahnya masing-masing. Ada yang siap membuka koper miliknya, menata kembali isinya, dan tak masalah orang lain akan melihat itu semua. Ada yang memilih menjadi orang-orang yang membawa itu sampai pada peristirahatan terakhirnya. Itu tak masalah. Itu hanya sebuah pilihan.

Pun, kita tak harus mengukur kaki orang lain dengan ukuran sepatu yang dimiliki, bukan? Begitupun sebaliknya.

Masing-masing kita jelas memiliki kisah hidup. Siapapun tahu itu.

Di titik ini, boleh bertukar tempat sejenak? Sebab barangkali, yang terbiasa mendengar juga sedang butuh didengar. Itu saja :)


Semoga tak menyinggung pihak manapun ya, kutulis ini untuk menjernihkan apa yang keruh sejak seharian ini. Karena ketika membaca tulisan teman yang berseloroh tentang hal yang kujadikan opening dalam tulisan ini, seolah-olah dia secara tak langsung berkata padaku.. "helloww, orang lain juga punya luka kali. Bukan kamu saja. Setiap orang struggle dengan kisah hidupnya masing-masing."

Iya aku tahu. Tahu banget 😁 Sampai-sampai aku membalas seseorang dengan seloroh, "Jadi setiap orang yang terluka, pada akhirnya mengidap bipolar, gitu ya? Hahahaa.."


Cukup sekian, dan semoga bermanfaat 💗 Stay safe and healthy ya!


__________________________________


Magelang, 14 Juli 2021

copyright: www.bianglalahijrah.com

2 Komentar

  1. Aku jarang cerita soal masalahku, sbnrnya alasannya Krn ini mba. Ga menemukan orang yg ikhlas mau mendengar :). Itu sbnrnya kliatan kan ya dr raut wajah mereka. Kalo ngedengerin nya sambil main hp, ngedengerin nya sambil nonton tv, trus saat kita ngomong, malah motong pembicaraan dan menyinggung hal lain. Aku srg ngalamin gitu, dan karenanya JD ga kepengin lagi utk srg cerita. Cukup simpen dalam hati, ATO kalo ga kuat, curhat Ama yg di Atas ajalah.

    Tapi sayangnya aku ga bisa ngelakuin hal yg sama dengan org yg cerita ke aku :D. Di antara temen2ku, mereka harus ngakuin aku the best listener. Krn aku bakal stop ngelakuin apapun saat temen curhat termasuk pegang hp dll.

    Kdg aku pikir, kenapa yaa dulu aku ga ambil jurusan psikologi aja hahahaha.

    Tapi ya sudahlaah. Sepengin apapun aku utk punya temen yg mau mendengar sungguh2, tapi sayangnya blm ada, aku udh cukup seneng kalo bisa tenang sehabis curhat ke Tuhan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aaaa, Mbak Fanny. Sini, sinih. Aku peluk dulu :)
      Aku mau kok jadi teman sekaligus pendengar baik buat Mbak Fanny. Memang dalam keseharian, sulit kayaknya bisa nemu orang sekalipun dia yang ngaku temen, tetapi dia juga bisa memposisikan diri sebagai pendengar. Karena seringnya, kita yang tadinya lagi pengen didengar, eh berujung jadi pendengar. Keterampilan mendengarkan memang perlu banget nih buat dilatih. Terutama, nggak kebiasaan menyela ucapan orang lain yang jadi teman bicara :)
      Terima kasih sudah ninggalin jejak

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)