Juni berganti Juli. Perjalanan untuk pulih baru saja dimulai. Aku sudah memutuskan untuk membuka diri dengan berkunjung ke psikolog. Aku memerlukan bantuan untuk sembuh. Sembuh dari apa? Luka batin masa kecil kah? Atau kejadian traumatik yang pernah dialami ketika masih kanak-kanak hingga remaja? Aku pikir kedua hal itu berkaitan. Betapa struggle yang dihadapi oleh 'aku dewasa' di hari ini, tidaklah mudah. Jauh lebih kompleks, imbas dari semua luka yang diperoleh di masa lalu.

Terima kasih untuk suami dan anak-anak yang telah membersamai. Setelah diskusi, mencari informasi tambahan, mendatangi dua tempat. Aku akhirnya berjodoh dengan salah satu rumah sakit di kota Magelang.

Sebenarnya, sebelum mendatangi profesional, aku sudah lebih dulu mempelajari hal-hal terkait problem yang kurasakan di dalam diri. Termasuk pula bagaimana penanganannya. Aku belajar sendiri. Bagaimana mengenali perasaan yang hadir ketika triggernya muncul. Apa yang kurasakan, dan bagaimana menangani itu semua.

Berhasil kah? Belum.

Aku tak memperoleh banyak perubahan karena intensitas exercise yang dilakoni juga belum rutin kulakukan sebanyak mungkin. Padahal, seharusnya itu menjadi kebutuhanku setiap hari.

Berbekal dukungan dari suami. Kami mantap ke profesional, padahal ada kecemasan lain yang bikin was-was. Satu diantaranya, ketakutan akan kasus covid yang sedang melonjak di mana-mana. Termasuk pula di kota Magelang.

Setelah mengisi formulir pendaftaran, aku diminta untuk duduk di ruang tunggu. Bertanya-tanya ke ruangan mana aku akan masuk, dan psikolog mana yang berjodoh denganku hari itu.

Ditemani suami dan anak-anak, aku merasa lebih siap.

Tak lama, namaku pun dipanggil. Seseorang berbaju corak batik berwarna orange, menuntunku masuk ke sebuah ruangan. Ada satu meja dan empat kursi di ruangan itu. Aku duduk di kursi pasien yang telah dipersiapkan, berseberangan langsung dengan psikolognya yang duduk di hadapanku sejarak satu meter.

Tatapan psikolog tertuju padaku. Aku menarik napas.

Pertanyaan pertama, tentu saja bermula dari keluhan apa yang dirasakan hingga aku terdampar di sana.

Aku tiba-tiba menjadi lebih melankolis ketika mulai bercerita. Itu karena benang merah di dalam otakku menuntun pada serentetan kejadian tak menyenangkan, juga prilaku kompulsif yang terjadi setelah itu, dan mempengaruhi sebagian besar kehidupan dewasaku hari ini.

Psikolognya baik. Beliau dengan sabar mendengarkan apa yang kusampaikan. Beliau juga membiarkanku menangis, menyodorkan tisu, dan memberikan masukan mengenai apa yang seharusnya aku lakukan.

Nyaris 27 tahun, aku baru ingin membuka diri.

Aku tak mau hanya menerka-nerka apa yang salah dengan diriku. Mengapa aku begini? Mengapa setiap kali berbenturan dengan masalah, ada trigger, aku menjadi di luar kendali. Semua terasa sulit dan menyakitkan di waktu bersamaan.

Selama ini aku mungkin terlalu sibuk berusaha agar semuanya terlihat normal. Mencitrakan kehidupan baik yang bahagia. Berusaha beroleh pengakuan dari orang lain. Padahal jauh di dalam diri, aku tahu bahwa ada sesuatu yang salah padaku. Aku merasa berbanding terbalik dengan apa yang kuperoleh. Termasuk ketika merasa dicintai dan diterima.

Jawaban psikolog tak jauh berbeda dengan informasi yang selama ini kukumpulkan. Tetapi memperoleh langsung saran tersebut dari profesional, terasa lebih menguatkan dan merangkul. Aku tak merasa berjuang sendiri dalam memahami hal-hal yang terasa sulit dipahami, kendati itu berkaitan dengan diri sendiri.

Pertanyaan tentang mengapa aku merasakan perasaan seperti ini dan seperti itu? Apa kaitan luka batin masa kecil dengan caraku berinteraksi sosial di masa kini?

Semua benang merah itu terhubung, dan menjadi lebih jelas. Bahwa ada sebab, dan akibat. Ada alasan mengapa selama ini diriku menjadi "aku" yang kadangkala sulit kukendalikan.

Kadang aku merasa bahagia, di waktu bersamaan aku merasa ada sesuatu yang salah hingga perasaan tak berharga. Semuanya timpang tindih.

Oleh karena itu apa yang kurasakan terkait apa yang dialami selama ini, kusampaikan secara jujur pada psikolog. Tak ada yang kututupi. Bermula dari pengalaman masa kecil, bagaimana diperlakukan dalam lingkup keluarga, sekolah, dan lingkungan. Perlakuan macam apa yang diterima. Bullying dari teman-teman sekolah, ditelantarkan orangtua.. hingga pada kehidupan pernikahanku di masa dewasa kini.

Psikolog membenarkan bahwa caraku menyikapi permasalahan, bagaimana aku bersikap ketika merasa tak nyaman dengan orang lain atau di sebuah circle, bagaimana aku yang terlalu keras pada diri sendiri dengan patokan perfeksionis yang jelas sangat menyusahkan diri sendiri maupun orang terdekat, semua berangkat dari luka batin masa kecilku.

Bagaimana aku kecil yang tak diterima. Ditolak. Dipaksa untuk menjadi anak kecil yang sempurna dalam patokan orang dewasa di sekelilingku. Aku yang tak boleh salah. Dituntut selalu sesuai kehendak semua orang. Mendapatkan kekerasan fisik maupun verbal. Bagaimana masa remajaku dilalui dengan perjalanan hidup yang berat setelah orangtua bercerai.. semua hal yang mungkin sudah aku ketahui akar permasalahannya, dan selama ini aku menyimpan banyak luka. 

Yang kulakukan kemudian, ialah membentuk pertahanan diri agar tak lagi-lagi terluka. Namun pertahanan diri itu pun menimbulkan permasalahan lain.

Sekeras apapun upayaku untuk melindungi diri agar tak lagi terluka oleh orang lain seperti menghindar, memutus relasi, menjauh dari sumber masalah.. namun di waktu bersamaan aku merasa sakit, lelah, tak berharga, dan nyaris putus asa.

Terlebih, aku masih merasakan sakit. Aku masih mudah menangis, setiap kali mengangkat cerita luka itu ke permukaan.

Mungkin aku memang belum pernah sembuh selama ini. Aku hanya mengingkari luka itu.



Pesan dari psikolog sebelum aku keluar dari ruang konseling, "Kamu sembuh, jika kamu tak lagi merasakan sakit.. merasakan sedih.. saat bercerita tentang peristiwa luka itu." 

Itu berarti, jauh di dalam sana, aku memang masih sakit. Selama nyaris 27 tahun ini aku hanya mengaku kuat dan baik-baik saja dengan cara menutupi luka itu. Aku memasang pertahanan diri. 

Bahkan sampai detik ini aku masih merasa sesak di dada, dan berkaca-kaca. 

Tadi malam aku duduk menangis usai membaca halaman pertama di buku yang baru saja kubeli tentang proses menyembuhkan diri. Aku tergugu, bayangan masa kecil yang menyedihkan berkelebat satu persatu. 

Ternyata aku masih begitu sakit jika bercerita tentang perlakuan macam apa yang dulu kuperoleh sejak kecil hingga remaja.

Aku tak tahu, betapa semua luka itu akan memberikan dampak di luar kendaliku.

Seingatku, dulu aku tak seperti ini. Aku tak berani atau bahkan berpikir untuk bertindak kompulsif. Berbeda jauh dengan aku dewasa yang menjadi sangat sensitif, temperament, dan mudah sekali memutus relasi ketika berseberangan dengan orang lain.

Dari pandangan psikolog, beliau menjelaskan bahwa dulu aku mungkin tak berdaya. Aku tak bisa melawan.

Aku kecil tak memiliki kesempatan untuk menyuarakan isi hatinya. Kehendak dirinya. Bahkan apa-apa yang aku lakukan selalu salah di mata semua orang.

Apa yang terjadi hari ini adalah bentuk pertahanan diri yang kubuat, agar tak lagi terluka oleh orang lain. Hanya saja pertahanan diri itu membuat lukaku tetap ada, belum sembuh. Aku hanya berusaha menghindar. 

Dengan menghindar apa membuatku merasa baik? Ternyata tidak.

Aku merasa sepi. Tak punya teman. Merasa sebatang kara. Bahkan ketika ada orang yang menunjukkan kepedulian, aku merasa asing, dan itu bukan hal yang lazim. Mungkin karena inner child dalam diriku menolak itu.

Setelah kupikir-pikir, apa yang dikatakan psikolog secara keseluruhan benar dan sesuai dengan apa yang terjadi padaku.

Aku struggle dengan semua luka batin itu hingga detik ini di usia 27 tahun.

Aku juga masih harus kembali ke psikolog jika metode terapi yang diberikan belum berhasil. Itu berarti, aku harus face to face dengan psikiatri langsung sesuai usulan psikolog di pertemuan kemarin.

Aku sadar, betapa perjalanan memulihkan diri masih sangat panjang.

Aku mungkin akan survive seumur hidup. Who know's? Namun tak berkecil hati, pasti akan selalu ada hal besar yang luar biasa baik dari setiap pengalaman itu nantinya. Ini menandakan betapa aku hanya sebatas hamba yang tanpa Allah, aku bukan apa-apa.

Saat ini pun, aku dan suami jadi lebih aware untuk isu-isu kesehatan mental.

Aku dan suami terus belajar, bahwa pengalaman pribadiku, cukup menjadi pembelajaran bagi kami agar tak mengulang kesalahan atau luka yang sama pada anak-anak kami.

Kami sadar, bahwa yang terbaik adalah mencari solusi dan menyembuhkan lukanya. Andai suami bukan orang yang sabar, andai beliau tak bisa menerima sikon istrinya dengan apa adanya, mungkin sejak jauh hari.. aku yang lebih sering berontak dan menyodorkan kata pisah akan beliau sanggupi. 

Sebaliknya, suami justru bilang begini "... Belum tentu kalau kamu lepas dari aku, kamu lanjut di orang lain, dan kamu benar-benar bisa sembuh. Iya kalau dia bisa nerima kamu apa adanya. Lagi pula, anak-anak adalah prioritas kita sekarang. Kita nggak mau anak-anak mengalami hal yang sama."

Speechless :-

Suami memang benar.

Berganti pasangan bukan solusi. Aku hanya insecure pada diri sendiri. Bagaimana jika aku tak sengaja menyakiti perasaan orang yang kusayangi, dan tulus mencintaiku apa adanya selama ini?

Tetapi sudah cukup aku menghindarkan diri dari perasaan takut terluka. Di titik ini, aku harus benar-benar berdiri dan menghadapinya lebih berani.

Dan lagi, seperti apa yang dikatakan psikolog.. bahwa untuk sembuh pun, aku harus mau merasakan luka itu lagi. Membuka kembali ingatan-ingatan yang menyakitkan itu.



Iya, karena hanya dengan menengok ke dalam sana. Hanya dengan menerima segala rasa sakitnya. Hanya dengan berusaha untuk benar-benar memaafkan, aku akan survive dengan semua ini. Minimal aku bisa hidup lebih baik, perasaan normal, dan tak mengulang pengalaman yang sama pada anak-anakku.

Sedewasa ini, aku sadar, ada yang salah dalam diriku. Karena itu aku akan terbuka untuk memahaminya. Aku akan belajar untuk tak lagi menyalahkan banyak orang, meski mungkin mereka memang bertanggung jawab atas luka itu.

Aku sendiri yang berkewajiban menyembuhkan luka batin di dalam diri.

Ini baru langkah awal. Masih ada serangkaian exercise yang harus dilakukan sebagai media terapi atau relaksasi sesuai saran psikolog dan psikiater. Menulis juga menjadi sarana terapi itu sendiri. Writing is healing.

Aku harus mulai menyayangi diri sendiri. Berhenti keras dalam memaksakan diri pada apapun yang berada di luar kendaliku. 

Aku berharga. Aku hebat. Aku luar biasa. Aku diterima, dan aku juga dicintai.

Pelan-pelan, aku akan bertahan dan menjadi pejuang tangguh bersama semua ini..

Aku tak membenci Mamak, Bapak, adikku, keluarga besar orangtua, lingkup sekolah, lingkungan tempat tinggal yang dulu menjadi bagian dari luka itu.. 

Aku hanya belum bisa berdamai dengan diri sendiri, kendati aku mengaku sudah melepas semua itu di belakang sana.

Detik ini pun, aku bahkan menangis untuk menulis ini.

Aku akan survive. Aku akan merangkul luka-luka itu sebagai bagian berharga yang Allah gariskan untukku. Sebagai pengalaman hidup, dan agar aku tak menghakimi kesakitan orang lain.

Agar aku bisa lebih banyak berempati pada penderitaan orang lain.

Bahwasanya Allah tak pernah menguji suatu hamba di luar dari batas kesanggupan hamba itu sendiri.

Mungkin pula, suatu hari.. aku bisa menguatkan orang lain. Terutama Mamak.

Aku tak menyalahkan beliau. Pun sepulang dari psikolog, dan aku menyampaikan kabar kondisiku. Aku bilang bahwa beliau tak salah dan aku sudah memaafkannya. Hanya saja, aku masih berjuang untuk menyembuhkan luka dari semua pengalaman itu.

Tengah malam, Mamak menghubungiku kembali. Menulis sebuah pesan di chat WhatsApp. Betapa beliau mengaku menyesal. Betapa beliau memohon maaf dari ujung rambut ke ujung kaki. Menyesali apa yang pernah beliau perbuat.

Aku dan Mamak sama-sama tak bisa merubah masa lalu, kami hanya perlu menghadapinya. Memaafkannya, walau harus menyimpan luka seumur hidup.

Mamak tak sepenuhnya salah. Beliau juga korban dari ketidakpunyaan ilmu parenting pada masa itu. Beliau juga korban dari pola asuh yang salah, di mana Mamak juga mengalami berbagai bentuk kekerasan di pengalaman masa kecilnya.

Doakan aku ya. Aku memerlukan dukungan, tanpa judgement. Perjalanan untuk memulihkan diri mungkin butuh proses panjang. Doakan semoga aku menjadi lebih kuat. Tetap berprasangka baik pada setiap hal. Bisa lebih legowo pun nrimo pada qada dan qadar-Nya, dan menerima semua proses yang harus dijalani dengan sebaik-baik penerimaan sebagai upaya untuk pulih. 

Bismillah biidznillah. Semua karena Allah.. psikolog atau pun psikiater adalah perantara untuk pulih, semua kembali pada ketetapan Allah dan keyakinan diri sendiri.

Allah tentu punya rencana indah, hebat, luar biasa. Untukku pribadi, dan orang yang berjuang bersamaku hari ini.

Pesanku: jangan sungkan datang ke profesional jika kamu merasa ada indikasi dalam dirimu terkait kesehatan mental. Kamu harus peduli pada diri sendiri jika merasa ada sesuatu hal yang salah, dan kamu butuh profesional untuk mendiagnosa itu secara tepat (jangan hanya menduga-duga apalagi melakukan self diagnosis). Agar jalan keluar bisa diperoleh lebih cepat dan sesuai dengan apa yang kamu butuhkan.

Dari pengalamanku ke psikolog, semua tak seseram yang dibayangkan orang pada umumnya. Biayanya juga relatif. Konseling pertama di psikolog, aku hanya merogoh kocek senilai 104.000 untuk konseling dan psikoterapinya.

Jadi yang terpenting, sadari betapa diri kita berharga. Jika bukan kita sendiri yang aware dan peduli terhadap diri sendiri, maka siapa lagi?

Semoga jurnal ini bermanfaat untukmu juga. Karena menulis pengalaman sendiri juga menjadi salah satu bentuk healing bagiku. Diagnosa sementara dari psikolog, aku memiliki gangguan mood yang mengarah ke bipolar. Aku juga rentan depresi.

Setidaknya, dengan mengetahui problem yang ada di dalam diriku sendiri... insyaa Allah aku jauh lebih siap untuk menyikapi kekurangan maupun kelemahan yang dimiliki, dan berjuang untuk memulihkan itu agar menjadi manusia yang lebih baik lagi terutama untuk orang-orang yang menyayangiku. Minimal, aku bisa lebih mengendalikan diri, mengenali emosi, dan sehat mental dalam kehidupan sehari-hari.

Karena depresi itu sesuatu yang tak terlihat, tetapi ia ada. Depresi juga bukan kesalahan karakter pada diri seseorang. Kamu bisa cari informasi lebih jauh, agar menjadi pencerahan bagi diri sendiri (mungkin) maupun mereka yang membutuhkan.

Berjuang memulihkan inner child juga bukan perkara ke "Kamu harus sabar, kamu harus ikhlas, kamu harus memaafkan.." semata.

Karena untuk melakukan itu semua, tak jarang seseorang harus berjuang seumur hidupnya. Berkubang dengan rasa sakitnya, dan melawan diri sendiri. Kadang kita merasa sudah memaafkan, tetapi luka itu masih bertahan di dalam sana.

Tak ada manusia yang memilih terlahir sebagai sesuatu yang salah, tetapi bukankah dari sesuatu yang salah.. setiap kita akan belajar untuk bertumbuh, dan menjadi individu yang lebih baik lagi?

Menulis postingan ini juga sebagai bentuk kepedulian terhadap diri sendiri. Dan mungkin, di luar sana ada banyak orang yang sama-sama sedang stuggle dengan dirinya tetapi tak tahu harus berbuat apa. Dia tak paham apa yang salah dengan dirinya. 

Aku cuma mau bilang, bahwa kamu tak pernah sendirian. Kamu luar biasa untuk bertahan, dan berusaha menjadi manusia yang kuat :)

Menjadi tak sempurna. Menjadi manusia yang tak ideal. Itu manusiawi kok.

Stay strong ya. Be brave! Go beyond! Kalahkan kelemahan diri sendiri.


Terima kasih untuk suami, terima kasih anak-anakku. Terima kasih pada Allah untuk kesempatan hidup dengan seluruh nikmat-Nya yang tak berjeda, dan pengalaman yang akan lebih menjadikanku sebagai sosok hebat di balik ini semua. Terima kasih diriku yang luar biasa.. 

Mari sembuh dan bertumbuh. Kita akan benar-benar pulih. Aamiin biidznillah.



_______________________


Magelang, 01 Juli 2021

copyright: www.bianglalahijrah.com

5 Komentar

  1. Hai mba, terharu baca tulisan ini. Aku salut sebenernya mba mau terbuka, dan yg terpenting mba mengakui butuh bantuan profesional untuk menyembuhkan luka2 batin tadi. Krn aku tau banget, banyak orang di luar sana yg ga mengakui mereka mengalami depresi dan ga mau datang ke psikolog. Mereka menganggap ke psikolog itu berarti mereka sakit jiwa. Dan ujung2nya malah semakin parah dan membahayakan org lain.

    Keep strong ya mba.. mba beruntung dikelilingi support dari suami dan anak2. Krn biar gimanapun, support dr lingkaran terdeket itu penting untuk membantu kita pulih. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, betul. Suami dan anak-anak banyak membantu dalam proses healing itu sendiri. Karena itu aku bilang, di luar sana mungkin ada banyak yang sedang struggle sama dirinya tapi dia nggak tahu harus gimana dan nggak dapat dukungan yang tepat juga. Lagi pula, masyarakat kita memandang tabu kalau menyorot isu-isu kesehatan mental dan kesannya kayak negatif gitu. Padahal enggak.

      Ibarat luka fisik nih, sebelum infeksi dan bernanah.. kita butuh perawatan dokter untuk menyembuhkan luka itu. Entah itu dengan dijahit, diperban, dikasih obat, sampai benar-benar sembuh. Apalagi ini justru mental kita sendiri (sesuatu yang tak terlihat dari luar, tapi bukan berarti nggak penting), entah luka fisik atau pun mental, semua sama-sama butuh perawatan.

      Tapi konotasinya memang, seolah-olah yang berkunjung ke psikolog atau psikiatri itu dianggap orang dengan gangguan jiwa. Padahal mah nggak gitu juga. Hampir setiap kita punya inner child, luka, struggle dengan diri sendiri. Hanya saja seperti yang Mbak Fanny bilang, nggak sedikit yang milih untuk denial/menyangkal. Pura-pura normal seperti aku tadinya. Karena takut dengan asumsi orang lain nantinya. Padahal itu justru hanya akan memperburuk diri kita, nggak sehat buat mental kita lohh :')

      Hapus
    2. Aku pernah baca buku autobiografi yang bilang, menceritakan sebagian luka itu juga adalah proses dari kerelaan kita untuk berdamai dengan diri sendiri. Berdamai dengan masa lalu. Dan, menjadi lebih mudah melepaskan apa yang terasa mengganjal di dalam diri kita. Aku pribadi menganggap ini sebagai self healing dan setahap demi setahap aku bisa merasa lega dengan itu :')

      Terima kasih supportnya, Mbak Fanny :-) semoga sehat selalu beserta keluarga ya, aamiin

      Hapus
  2. semoga diberi keutana akan sembuh dan mbak bisa melaluinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aamiin Ya Rabb, allahumma aamiin. Selalu yakin untuk sepenuhnya pulih, suatu saat nanti. Karena janji Allah, bersama kesulitan akan ada kemudahan. Terima kasih support dan doanya, Mbak :)

      Hapus

Assalamu'alaikum. Terima kasih sudah singgah dan membaca tulisan di Blog saya. Semoga bisa memberikan manfaat. Jangan lupa tinggalkan jejak baik di kolom komentar. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup ya. Ditunggu kunjungan selanjutnya :)